Wahabi Isu Jadul Yang Dimunculkan Kembali Di Indonesia


“Dasar, Wahabi kampungan” selintas komentar ini nangkring diblog. Dan ada beberapa komentar lagi yang bahkan menghina-hina Wahabi. Entahlah kenapa mereka menghina Muhammad Bin Abdul Wahab murid dari Ibnu Taimiyah ini. Atau mungkin dari buku-buku yang mereka baca, atau dari ustad-ustad mereka. Atau mungkin dari teman-teman yang lainnya. Wallahu’alam. Pokoknya mereka sepertinya sangat antipati terhadap Wahabi.

Oh iya, kenapa saya bilang Jadul (Jaman Dulu). Karena ternyata dulu pun sudah ada pencitraan Wahabi, sebagai orang yang akan menggilas tradisi yang tidak sesuai dengan aturan/syari’at Islam. Isu ini digulirkan untuk membendung pemahaman yang dibawa oleh sarjana-sarjana dari Arab Saudi (kebanyakan) untuk diajarkan di Indonesia.

Mari kita mengingat Kh. Ahmad Dahlan. Tokoh pembaharu Islam di Indonesia ini yang telah mendirikan Muhammadiyah sebagai pencetak generasi-genarasi Islam tersebut. Ternyata juga di cap sebagai Wahabi pada masanya. Dari perjuangan seorang Ahmad Dahlan yang belajar dari Arab Saudi dan datang kedaerahnya untuk membetulkan segala perilaku-perilaku peribadatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam untuk diluruskan kembali. Dan yang paling tragis, ketika Kh. Ahmad Dahlan akan membetulkan letak Surau untuk menghadap kearah kiblat umat Islam. Ditentang keras oleh kyai-kyai yang lainnya.

Dengan cercaan yang begitu banyak dari kyai-kyai tersebut. Akhirnya Kh. Ahmad Dahlan pun urung untuk membetulkan arah Surau menghadap kiblat. Bahkan seorang kyai menyatakan Kh. Ahmad Dahlan adalah seorang Wahabi yang bau kencur ingin merubah tradisi keberagamaan Jogja kala itu.

Namun Kh. Ahmad Dahlan pun tidak kehilangan semangat dakwahnya. Hingga harus membuat surau sendiri yang sesuai dengan arah kiblat umat Islam. Tetapi semangat dakwah beliau pun harus ternodai oleh seorang kyai, yang lagi-lagi ingin mematahkan dakwah Kh. Ahmad Dahlan. Seorang kyai tersebut mengajak para santri-santrinya untuk membakar surau Kh. Ahmad Dahlan yang tepat kearah kiblat umat Islam. Dengan alasan, karena telah menyalahi tradisi daerah setempat. Beruntunglah Allah memberikan pertolongan kepada Kh. Ahmad Dahlan. Lewat salah satu saudaranya, yang juga pembesar keraton waktu itu. Memberikan jaminan keamanan kepada Kh. Ahmad Dahlan dalam menyampaikan dakwahnya, di surau yang seusai dengan aturan Islam. Yaitu tepat menghadap arah kiblat umat Islam. Bahkan ketika Kh. Ahmad Dahlan ketika mengadakan shalat Iedhufitri di lapangan, malah menjadi sebuah tontonan yang aneh, dan tak kurang-kurangnya stigma Wahabi terus dimunculkan kala itu. Tetapi sekarang, banyak sekali yang sholat Iedhulfitri dilapangan-lapangan. Apa banyak orang yang sudah jadi wahabi?

Isu-isu wahabi yang digulirkan untuk menjatuhkan dakwah Kh. Ahmad Dahlan tersebut malah semakin membesar. Banyak orang-orang yang membenci Kh. Ahmad Dahlan karena aneh dalam melakukan pengajarannya. Namun, isu-isu wahabi yang digulirkan tersebut akhirnya terhempas juga. Dan entah siapa penggagas isu tersebut waktu itu.

Namun kini, Wahabi hadir kembali. Isu-isu wahabi dimunculkan kembali. Setiap orang yang aneh dalam beribadah atau tidak mau mengikuti tahlillan, yasinan, ziarah kubur, dll. Mereka dicap sebagai Wahabi. Bahkan dengan bangga ada orang yang begitu bersemangatnya, menfitnah salah satu ulama yang wajib kita hormati tersebut.

Saya (red, penulis) pernah menghadiri sebuah seminar “Islam dan Timur Tengah” disalah satu Universitas. Ketika itu ada seorang peserta dengan “pede” mengungkapkan keburukan-keburukan Wahabi (Muhammad Bin Abdul Wahab) dan penganutnya. Setelah lama berargumen. Salah seorang panelis menanyakan. Anda mendapatkan buku darimana? Setelah peserta tersebut menyebutkan buku-bukunya. Seorang panelis ini mengatakan, bahwa buku-buku yang menghujat Wahabi, lebih cenderung adalah buku-buku dari kaum syi’ah. Dan penulis-penulisnya pun tidak pernah diketahui siapa sebenarnya. Pernah suatu kali penulis dari buku-buku tersebut diundang untuk menjelaskan sejarah yang sebenarnya tentang Muhammad Bin Abdul Wahab, selama tiga kali undangan dan tiga kali acara. Tidak pernah hadir. Sehingga pada saat itu, semua ulama dan akademisi yang hadir menyatakan bahwa buku-buku yang menghujat Muhammad bin Abdul Wahab, adalah buku-buku yang harus dijauhi. Karena tidak diketahui kebenarannya. Hingga, sekarang. Muncul kembali isu wahabi ini.

Apakah membenarkan arah kiblat sholat adalah wahabi? Apakah sholat dengan aturan Islam itu adalah wahabi? Apakah hidup dengan aturan Islam itu Wahabi? Jika wahabi seperti itu. Maka lebih baik saya menjadi wahabi. Daripada menjadi orang-orang yang membakar masjid karena tidak setuju menghadap kearah kiblat umat Islam. Jadi jika anda melakukan cara yang sama seperti saya, maka bersiap-siaplah untuk mendapatkan cacian, makian, hujatan dan fitnahan. Tetapi tetaplah bersabar, karena “tidaklah lebih baik orang yang menghina dari orang yang dihina. Bahkan orang yang menghina adalah orang yang paling buruk perilakunya daripada orang yang dihina”

4 Tanggapan

  1. shahih ya akhi ana dari uin jakarta yang liberal mengatakan wahabi adalah benar

  2. subhanallah.. sebuah pencerahan akhi…
    umat kita memang perlu pemahaman mendalam mengenai hal ikhtilaf seprti ini. apalagi yang langsung berakibat Fitnah..

  3. mari kita kembali kepada Alquran dan hadits, jangan merasa paling benar

  4. Apakah mencintai keluarga rasul, memuliakan, menganggap Rasul dan keluarga nya bersih dari dosa adalah Syiah? Apakah ber maulid berarti Syi’ah? Apakah mengucap shalawat dan salam kepada Rasul dan keluarga nya adalah Syiah? Apakah memperingati wafatnya cucu nabi imam Husain as adalah Syiah? Apakah mengutuk pembenci keluarga Nabi adalah perilaku Syiah, padahal Nabi sendiri adalah sosok teragung dalam Islam. Apakah mencium pagar makam Nabi hanya karena kerinduan akan sosok agung seperti beliau padahal kita juga rindu akan sosok orang tua kita yang sudah wafat dengan menangis dihadapan nisannya adalah Syiah? Jika ya, tentu saya lebih memilih Syiah ketimbang sebuah ajaran baru yg katanya ‘penyucian kembali’ yg memiliki motif sama seperti apa yg dilakukan Martin Luther King.

    Jawab Abu Jaisy:
    Komentar anda sama seperti Imam Syafi’i. Tetapi Imam Syafi’i tidak kebablasan seperti anda. Mencintai keturunan Rasulullah itu adalah sebuah keharusan, seperti juga mencintai mukmin yang lainnya. Tetapi di Islam tidak mengenal Ke-uskupan seperti yang dilakukan para kaum sufi dan syi’a yang kadang menjadikan ahlulba’it sebagai “berhala” baru. Sehingga harus diagung-agungkan layaknya raja segala raja. Yah seperti nashrani yang berhaluan katholik di ROMA. Mereka lebih menganggap PAUS adalah orang yang paling suci dan tidak pernah berdosa. Nah ini juga sama seperti orang yang mengagungkan ahlul ba’it. Padahal sudah jelas Allah itu tidak menjadikan strata keturunan sebagai tolak ukur keimanan dan ketaqwaan. Dihadapan Allah, semua orang sama kecuali yang membedakan keimanan dan ketaqwa’annya.

Tinggalkan Balasan ke rangga Batalkan balasan