Kumpulan Tanya-Jawab Masalah Demokrasi (Haram Atau Tidak?)


Demokrasi ini masih menjadi perdebatan yang hangat bagi beberapa kalangan. Namun karena status pengharaman mutlak demokrasi ini yang menjadi pembahasan serius. Mereka menganggap orang-orang yang berkecimpung di dunia demokrasi sebagai orang-orang yang berada pada kubangan kotoran. Tak jarang mereka pun dengan mudah mengklaim diri paling benar dari yang lain.

Berikut ini merupakan rangkuman saya dari berbagai komentar pertanyaan dan jawaban bagi orang-orang yang mengkufurkan demokrasi diblog ini. Karena memang selalu saja pertanyaan dan jawaban orang-orang yang mengkufurkan demokrasi selalu saja sama. Maka semoga postingan ini memberikan gambaran bagaimana sikap mereka dalam bertanya-jawab dari setiap komentar yang ujung-ujungnya selalu “melarikan diri” dari dialog. Inilah rangkuman tanya-Jawab tersebut:

Setiap jawaban yang saya utarakan menggunakan nick Abu Jaisy atau Jaisy01

Dengan ini, setiap pertanyaan yang sama, maka saya tidak akan menampilkan komentar tersebut, tetapi langsung saya tujukan kepada postingan ini. Jadi silahkan membaca dahulu baru berkomentar dan jangan mengulangi pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh nick lain!

abu wildan, Quantcast

Bismillah,
Darimanakah asal demokrasi itu?
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum,maka ia termasuk dari mereka” (HR Ahmad dan Abu dawud dari sahabat Abdullah bin `Umar r.a)

Jawab Abu Jaisy:
Tasyabuh!? Lalu apakah ketika ada orang Islam jika berkumis juga tasyabuh? Menyerupai orang/suatu kaum. Kalau gitu Ustad Ba’asyir, Ustad Ismail Yusanto, Raja2 Arab, dll. Bisa jadi tasyabuh :)
Jika menurut dalil yang antum berikan, hal ini sama saja masih berpandangan teks, bukan konteksnya. Istilahnya seperti ini, “Barang siapa menggunakan Komputer, mobil, tv, radio, dll (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka” atau bisa jadi, “Barang siapa menggunakan ilmu biologi, ilmu fisika, ilmu komputer, ilmu matematika, ilmu administrasi, dll (menyerupai) suatu kaum” Padahalkan konteksnya bukan itu! :)
Dan dalil yang antum berikan bukan dalil qath’i, karena tetap masih terjadi khilaf disini.

Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al Maidah: 45)

”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al Maidah: 47)

Jawab Abu Jaisy:
Jangan menafsirkan ayat dengan hanya memotong ayat-ayatnya, jika itu yang terjadi orang munafiq dan kafir bisa sah-sah saja menggunakan ayat ini “Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat” (QS Al Maa’uun 4)

Mari kita kupas pernyataan dari dalil ijtihad (bukan dalil Qath’i) antum.

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim. (QS Al Maidah 45)

Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Maidah 47)

Sebab-sebabb turunnya ayat tersebut adalah penyelesaian Rasulullah kepada beberapa orang Yahudi yang ketika itu bersengketa dengan sesama Yahudi. Ayat dari Al Quran tersebut masih ada hubungannya dengan Al Maidah 44. Ulama Al Azhar (Mesir) dan Arab Saudi tidak sepakat bahwa ayat-ayat tersebut menjadi dalil pembenar dalam mengharamkan demokrasi, karena ayat tersebut diturunkan untuk kaum kafir, bukan untuk mu’min. Adapun beberapa ulama Al Azhar dan Arab Saudi yang tidak setuju dengan Demokrasi (mengharamkannya) itu tetap dalam rangka ijtihad masing-masing.

Jawab Abu Jaisy: :)
Menyangkut demokrasi itu sendiri, sudah seharusnya kita sadar bahwa segala apa yang ada didunia ini memiliki aturan/hukum. Kalau hanya menyangkut demokrasi yang mengatur beberapa hal yang disitu ada kemaslahatannya lalu apakah kita buang seluruhnya? Sekarang boleh disebutkan sejak kapan Demokrasi menjadi sebuah ideologi? Jika hanya sekedar ideologi, sudah seharusnya bukan hanya demokrasi yang harus diharamkan, tetapi orang-orang yang berideologi fisikaisme, kimiasme, biologiesme, komputer-isme, dll. Semua juga bisa jadi haram :D . Anda menaiki kendaraan (mobil/motor) jika ada meyakini bahwa hanya kendaraan itulah satu-satunya yang dapat membawa anda ketujuan yang seharusnya, itu juga diharamkan. Mengerti apa yang saya maksud? :D

Ana Jawab: Jika kefisika’annya, kebiologiannya, kimiawiaanya mengideolog dan Islamnya tidak mengideolog, maka jelas kafir.

Antum tau kan definisi ideologi..???

Tapi, antum seolah ingin membuat pembaca bingung dengan mengidentikkan para ilmuwan dan kaum ideolog… Isme di luar Islam adalah kafir, apa dan bagaimana bentuknya… Antum ingat definisi Islam menurut Syaikh Hasan Al Banna dalam Ushul Isyrin poin pertama tentang Syumuliyatul Islam kan,,??? Definisi ini secara umum disepakati ahli ilmu…

Antum juga faham kan definisi ad-diin..??? millah..??? dan kata yang sejenisnya yang dalam bahasa Indonesia seharusnya tidak sekedar berarti “Agama”, namun lebih dari itu… Sehingga konsekwensinya pun lebih dari itu….

Jawab Abu Jaisy:
Afwan, akhi. Bagaimana ana menjawab pertanyaan antum. Karena sudah sangat jelas sekali pertanyaan-pertanyaan antum ini tidak jelas. Apa yang saya maksud Ideologi itu adalah keyakinan itu sendiri. Jika seseorang berkeyakinan bahwa Demokrasi itu adalah jalan utama, menuju sesuatu yang diharapkan maka hal itu jelas syirik dan haram. Ini sudah saya jelaskan beberapa kali, dan orang-orang seperti antum ini selalu memotong-motong maksud yang terkandung. Sehingga tak jarang Al Quran pun dipotong-potong seenak sendiri. Saya kopaskan maksud saya:

“Menyangkut demokrasi itu sendiri, sudah seharusnya kita sadar bahwa segala apa yang ada didunia ini memiliki aturan/hukum. Kalau hanya menyangkut demokrasi yang mengatur beberapa hal yang disitu ada kemaslahatannya lalu apakah kita buang seluruhnya? Sekarang boleh disebutkan sejak kapan Demokrasi menjadi sebuah ideologi? Jika hanya sekedar ideologi, sudah seharusnya bukan hanya demokrasi yang harus diharamkan, tetapi orang-orang yang berideologi fisikaisme, kimiasme, biologiesme, komputer-isme, dll. Semua juga bisa jadi haram :D . Anda menaiki kendaraan (mobil/motor) jika ada meyakini bahwa hanya kendaraan itulah satu-satunya yang dapat membawa anda ketujuan yang seharusnya, itu juga diharamkan. Mengerti apa yang saya maksud?”

Jawaban yang kedua yang berhubungan.
“Saya tidak membahas masalah teknologi loh. Afwan, antum tahu maksud dari point yang ana sebutkan apa tidak yah? Karena kok kayaknya nggak nyambung sekali.
Yang saya maksud dengan “Jika antum men-generalkan dalil tersebut, tentu saja kita semua tidak boleh untuk belajar ilmu Fisika, kimia, matematika, Komputer, dll. Karena disitu terdapat hukum-hukum/aturan-aturan/rumus-rumus yang bukan datang dari Allah, dan itu datangnya dari para master-master produk dari Demokrasi.”

Ini bukan masalah teknologinya, tetapi masalah hukum/aturan/syari/at itu sendiri, yang bersumber bukan dari Allah. Jika antum berpendapat seperti yang antum sebutkan sekarang, berarti antum menafikkan dalil antum yang menyatakan pada intinya “semua produk hukum yang bersumber pada demokrasi adalah haram walaupun itu hukum yang bersumber dari Islam”. Nahkan lucu, disatu sisi mengharamkan, tetapi disatu sisi jika menguntungkan dihalalkan! :D

Nahkan sudah jelas, apa yang saya maksud tersebut. Jadi “isme/ideologi” itu yang dibahas, bukan melebar kemana-mana! Ilmuwan itu juga mempunyai ideologi, jadi jangan pisah-pisahkan hal ini! Nah sama halnya dengan para “ilmuwan” sosial tentang demokrasi itu sendiri. Jadi tidak ada bedanya!

Satu lagi, pembahasan demokrasi juga terdapat dalam ceramah Asy Syahid – insya Allah – Syaikh Abu Mush’ab Az Zarqawi…

Jawab Abu Jaisy:
Yups, tafadhal merujuk pada ulama-ulama tersebut. Namun satu hal yang harus dan patut kita sepakati, bahwa semua buku tersebut adalah buah pikir (ijtihad) dari beliau sendiri. Bukan memberikan keterwakilan umat Islam seluruhnya.

Ana tidak tahu siapa yang dicap Khawarij, jika al Qaeda (Salafy Jihady) dicap Khawarij, ana fikir admin belum mengenal al Qaeda… Karena al Qaeda berbeda dengan Khawarij… Mereka punya metode dalam Takfir, tidak sembarangan mengkafirkan…

Yang jelas itu adalah bahwa al Qaeda berbeda dengan Jama’ah Takfir wal Hijrah… Bahkan Abu Muhammad Al Maqdisi membahasnya dalam buku “MEREKA MUJAHID TAPI SALAH LANGKAH”…
Juga dibahas oleh Abu Mush’ab As Sury dalam PERJALANAN GERAKAN JIHAD….

Jawab Abu Jaisy: :D
Apakah saya mengatakan kalau itu Al Qaedah? Kapan? Afwan, akhi antum harus benar-benar tahu permasalahan sebelum berstatement. Jangan asal saja, Islam mengharamkan orang yang asal berstatement tapi tidak tahu masalahnya! Masya Allah.
Seharusnya antum tanya dengan ikhlas, maksud saya membuat “label” disebelah kiri atas! Karena disitu jelas banyak sekali komentar-komentar siluman (tidak teregistrasi WordPress seperti antum ini) yang laingsung mengkafirkan saya diblog ini, langsung menghujat, dsb. Dan tak jarang banyak yang menipu dengan membuat nick-nick palsu dengan orang yang sama. Itulah yang saya maksud!

Semoga antum lekas sembuh dari prasangka-prasangka yang diharamkan oleh Islam. Amien

Ustadz anu,kiyai itu, guru itu, syaikh anu bisa salah, kecuali Rasulullah yang ma`sum. Jangan taklid!

Jawab Abu Jaisy:
Yups, setuju. Karena itu kerangka berfikir kita jangan sampai menjadi jama’ah robotiyah tanpa bisa berfikir dengan “merdeka” diarahkan kepada satu madhzab saja. Mengutip pernyataan imam Malik “janganlah engkau menjadikan madzhabku sebagai madzhab seluruh umat Islam, karena jika itu yang terjadi maka akan timbul fitnah. Setiap sahabat Rasulullah diturunkan didaerah tertentu, dan setiap sahabat Rasulullah itu berbeda isi dari otaknya. Maka dari itu ijtihadnya pun akan berbeda-beda” insya Allah kurang lebih seperti itu.

dan Apakah rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.

Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)

Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis:

1. Orang-orang Nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka musyrik
5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai arbab… sebagai Tuhan

Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: “Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah…” dst. Jadi yang ada dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.

Jawab Abu Jaisy:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)

Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: “Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah…” dst. Jadi yang ada dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.

Benar sekali, namun dalil ini tidak bisa digeneralisasikan seperti apa yang antum maksud. Jika antum men-generalkan dalil tersebut, tentu saja kita semua tidak boleh untuk belajar ilmu Fisika, kimia, matematika, Komputer, dll. Karena disitu terdapat hukum-hukum/aturan-aturan/rumus-rumus yang bukan datang dari Allah, dan itu datangnya dari para master-master produk dari Demokrasi. Terlepas dari ilmu-ilmu tersebut juga berawal dari ilmuwan muslim. Namun yang perlu digaris bawahi adalah aturan dari semua itu berasal dari manusia.

Dan yang dimaksud dalam “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.

Adalah menghalalkan sesuatu yang sudah dinash-kan haram dan mengharamkan yang sudah dinash-kan halal. Jelas dalam Al Quran yang halal dan haramnya sudah ditetapkan, maka itu tidak bisa diotak-atik. Contohnya seperti menghalalkan memakan babi,meminum khamr. Disitu sudah ada dalil Qath’inya. Tentu saja hal itu dilarang!

Jika antum memakai dalil seperti ini, seharusnya memakai dalil yang lain. Yaitu dalil ketika sahabat Rasulullah membawa/membaca injil dan Rasulullah marah sambil mengatakan “Apakah ada yang lebih baik dari Al Quran” insya Allah seperti itu. :D

Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang), maka dia mengklaim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!

lalu apa bedanya dengan antum dalam mempertuhankan demokrasi ini.. sekali-kali pasti antum akan jawab ana tidak mempertuhankannya..
tapi dan tapi..???

Jawab Abu Jaisy:
Seorang yang memposisikan sebagai penguasa, tentu mereka yang harus membuat peraturan hukum tersebut. Kewenangan dalam membuat hukum itu sendiri sudah dicontohkan dalam Sirrah. Ingatkah ketika Utsman bin Affan menyuruh membakar semua tulisan Al Quran yang berada dimana-mana, kecuali Al Quran yang telah dikumpulkannya (mushaf Utsmani). Dan melarang orang untuk membaca Al Quran selain Mushaf yang diterbitkan oleh kekuasaan Utsman pada saat itu. Ingatkah ketika kekuasaan yang dipegang Umar bin khattab mengumpulkan orang untuk shalat tarawih berjama’ah bukankah itu juga sebuah keputusan seorang penguasa yang belum pernah dilakukan semasa Rasulullah. Lalu bagaimana Umar bin Khattab membuat sebuah keputusan hukum tentang jumlah mahar, walaupun akhirnya direvisi lagi oleh Umar bin Khattab. Tetapi itu sebuah ibrah yang harus kita ketahui. Lalu seandainya apa yang antum katakan bahwa pembuat undang-undang itu memposisikan dirinya sebagai Tuhan, bukankah berarti Sahabat-sahabat Rasulullah juga seorang pembuat keputusan Undang-undang lalu apakah mereka juga memposisikan sebagai Tuhan?

Pelaku hukum itu ada dua, yaitu pelaku hukum pasif dan pelaku hukum aktif. Pelaku hukum Aktif adalah polisi, jaksa, hakim, pengacara. Dan pelaku hukum pasif adalah orang-orang yang diluar pelaku hukum aktif. Dengan begitu antum sendiri adalah secara otomatis pelaku hukum pasif dari hukum yang antum haramkan! Dengan hujjah diatas, antum juga termasuk menyembah para pembuat hukum itu sendiri. Karena mana-mungkin antum melapas semua hukum yang sudah ditetapkan. Dan setiap saat bahkan setiap hari antum telah menyembah hukum tersebut!

ini adalah perkara TAUHID dan bukan fururuyah akhi..ingat antum harus bedakan mana perkara yang FURU mana perkara yang BUKAN furu…

coba antum sebutkan mana para tabiin, imam, syaikh dan ulama2 terdahulu yang pernah melegalkan hal demokrasi ini..
kapan sih datangnya demokrasi barbar ini??lalu mengapa umat islam banyak mengatakan ini tidak mengapa…

Jawab Abu Jaisy:
Tentu saja masalah demokrasi itu bukan furu’iyah (cabang-cabang) dari Islam, tetapi demokrasi itu adalah masalah khilafiyah ataupun ikhtilaf dari ijtihad para ulama. Jadi antum harus membedakannya. Maka dari itu ketika terjadi khilafiyah dan ikhitilaf dari ijtihad para ulama akhirnya muncul yang dinamakan fiqh (termasuk juga furu’iyah). Demokrasi tidak ada dalam Al Quran ataupun As Sunnah, maka dari itu timbul khilafiyah ataupun ikhtilaf dari ijtihad para mujtahid. Namun masalah furu’iyah itu berbeda, karena masing-masing punya dalil yang sama. Maka dari itu, karena ada dua dalil yang “bertentangan”, biasanya disebut furu’iyah. Nah, untuk masalah demokrasi tidak ada nash yang qath’i sehingga tidak bisa sebut sebagai masalah furu’!

Kalau menyebutkan siapa tabi’it wa tabi’in maupun ulama salaf yang melegalkan demokrasi, tentu tidak ada. Sama halnya kita ditanya, siapa Tabi’it wa tabi’in dan ulam
a salaf yang menggunakan komputer? :D

ini ana copy pastekan lagi tentang penjabaran nya..semoga antum mendapatkan hidayah dari alloh swt untuk kembali kejalan yang benar…

Jawab Abu Jaisy:
Syukron, tetapi apakah antum begitu sombongnya sehingga menganggap antum lebih benar daripada ana? :)
Namun afwan akhi, kalau hanya sebatas kopi paste, sebaiknya ana hapus. Sebaiknya sebutkan saja linknya biar orang datang diblog antum sendiri.
Karena hujjah-hujjah semacam antum sebutkan sudah bertebaran dikomentar blog ini. Dan lagi-lagi sama, hasil dari kopas (copy paste), apakah tidak ada pemikiran yang berbeda dari jawaban yang selalu sama setiap bulannya.

DAN SELAMA INI TIDAK ADA DALIL QATH’I YANG MENGHARAMKAN DEMOKRASI, KECUALI IKHTILAF ATAS KHILAFIYAH DARI IJTIHAD PARA ULAMA!

Jawab Abu Jaisy:
Syukron kathsir atas bantahan dari hujjah antum diatas.
Ana sebenarnya pengen membantah semua hujjah antum diatas, tetapi tidaklah akhsan jika sebelum ana mengemukakan hujjah, ana tidak tahu siapa antum, Kerja dimana, dan bertempat tinggal dimana. Mohon, dijawab dulu yah pertanyaan ana. Insya Allah ana akan membantah hujjah antum dengan sesuai hujjah antum diatas. Tafadhol.

abuusamahalfatih:Quantcast

Bismillahhirohmanirrohim Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du..

Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya hal paling pertama yang Allah fardlukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah, sedangkan dalilnya adalah firman-Nya:

‘”Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu, “(An Nahl: 36)

ini perkataan antum :
Benar sekali, namun dalil ini (9:31)tidak bisa digeneralisasikan seperti apa yang antum maksud. Jika antum men-generalkan dalil tersebut, tentu saja kita semua tidak boleh untuk belajar ilmu Fisika, kimia, matematika, Komputer, dll. Karena disitu terdapat hukum-hukum/aturan-aturan/rumus-rumus yang bukan datang dari Allah, dan itu datangnya dari para master-master produk dari Demokrasi. Terlepas dari ilmu-ilmu tersebut juga berawal dari ilmuwan muslim. Namun yang perlu digaris bawahi adalah aturan dari semua itu berasal dari manusia.

ana jawab: perlu diingat ana hanya seorang yang fakir yang tidak pernah menafsiri hadis & ayat alloh dengan ro’yu…coba antum lihat lagi bahwasanya yang menjelaskan jawaban tentang surat (9:31)pertanyaan sahabat tersebut adalah rosul sendiri dan bukan ana yang fakir ini… jadi tidak perlu antum fitnah ana mengeneralisasikan ayat semau ana sendiri karena ana tidak punya kewenangan dalam menafsiri hal ini ana pun mengutip dari hadist yang di jelaskan oleh syaikh muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah..

Jawab Abu Jaisy:
Masya Allah, antum memotong kalimat saya. Beginikah seorang muslim, hanya berpegang kepada kalimat yang sepotong-sepotong? Saya Kopas jawaban saya.
“Benar sekali, namun dalil ini tidak bisa digeneralisasikan seperti apa yang antum maksud. Jika antum men-generalkan dalil tersebut, tentu saja kita semua tidak boleh untuk belajar ilmu Fisika, kimia, matematika, Komputer, dll. Karena disitu terdapat hukum-hukum/aturan-aturan/rumus-rumus yang bukan datang dari Allah, dan itu datangnya dari para master-master produk dari Demokrasi. Terlepas dari ilmu-ilmu tersebut juga berawal dari ilmuwan muslim. Namun yang perlu digaris bawahi adalah aturan dari semua itu berasal dari manusia.

Dan yang dimaksud dalam “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.

Adalah menghalalkan sesuatu yang sudah dinash-kan haram dan mengharamkan yang sudah dinash-kan halal. Jelas dalam Al Quran yang halal dan haramnya sudah ditetapkan, maka itu tidak bisa diotak-atik. Contohnya seperti menghalalkan memakan babi,meminum khamr. Disitu sudah ada dalil Qath’inya. Tentu saja hal itu dilarang!

Jika antum memakai dalil seperti ini, seharusnya memakai dalil yang lain. Yaitu dalil ketika sahabat Rasulullah membawa/membaca injil dan Rasulullah marah sambil mengatakan “Apakah ada yang lebih baik dari Al Quran” insya Allah seperti itu. :D

Coba lihat diparagraft ke dua dan tiga. Antum seharusnya tahu titik point yang saya maksud. Bukan malah memotong seenak antum sendiri. Dan maksud saya “Namun dalil ini tidak bisa digeneralisasikan seperti yang antum maksud” adalah bahwa antum tidak bisa mengatakan keharaman Demokrasi dari dalil tersebut, karena demokrasi tidak ada dalam nash yang qath’i. Apakah ada Nash yang qath’i mengatakan Demokrasi itu haram? Jika ada tolong buktikan dalilnya! Itu saja kok berbelit-belit. Jika tidak nash yang qath’i berarti hal tersebut adalah hasil dari ijtihad!

mengapa antum tidak mengerti apa itu aqidah dan teknologi.. aqidah itu semua bersumber dari alloh azza wajjala dan akidah yang datang dari alloh itu hanya tiga akidah yahudi, nasrani, islam dan agama yang di ridhoi di sisinya hanya islam (Bukti bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhoi Allah, dapat pula diperhatikan pada wahyu terakhir yang diterima oleh Rasulullah SAW tatkala beliau sedang melaksanakan haji wada’ yang berbunyi: ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agamamu (QS 5: 3)
Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan: ”Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS 3: 19)
Pencipta manusia adalah ALLAH Azza wajjala lalu dengan penciptaannya itu maka alloh membuat aturan terhadap apa yang telah diciptakannya.
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Hasyr 22-24)

dan hakekat allah menciptakan Manusia pasti antum sudah tau yaitu hanya untuk beribadah hanya kepada allah, dan segala bentuk peribadahan yang didasari hanya untuk allah maka alloh memberikan tata-caranya aturan-aturannya yang di sampaikan kepada para nabi dan rosulnya kemudian kepada ummatnya. dan barang siapa yang beribadah tidak bersumber dari alloh dan rosulnya maka semua ibadah itu akan tertolak.

Jawab Abu Jaisy:
Jawaban antum yang ini sudah terlalu melebar. :D
Masalah beribadah kepada Allah tentu insya Allah kita semua tahu. Lalu apakah ketika kita patuh terhadap Undang-undang lalu lintas, UU Administrasi, UU International, UU Pidana, UU Perdata kita sudah tidak beribadah lagi kepada Allah?
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan siapa saja yang mempersulit agama, maka ia akan kalah. Oleh karena itu, sedang-sedanglah, dekatkan diri kalian (kepada Allah) dan bersukacitalah kalian, serta pergunakanlah waktu pagi, sore, serta sedikit dari waktu malam (untuk mendekatkan diri kepada Allah).” (HR Bukhari)

Dan benar sekali, bahwa ibadah itu harus bersumber kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun perlu diperhatikan jika itu terdapat dalil qath’inya. Hal itu tentu tidak menjadi perbincangan. Yang menjadi perbincangan adalah ketika tidak terdapat dalam nash yang qath’i, sehingga timbul multi tafsir dari para mujtahid.

Orang yang dihukum Allah SWT dengan siksa yang pedih dan berat adalah orang yang secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang telah diharamkan Allah. Keharamannya adalah keharaman yang jelas dan telah menjadi ijma” atau minimal menjadipendapat mayoritas ulama dengan didukung dengan dalil-dalil yang qath”i. Baik Qath”i secara tsubut maupun qath”i secara dilalah.

Misalnya keharaman minum khamar, berzina, membunuh nyawa yang bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya. Semua itu adalah keharaman yang sudah muttafaqun ”alaihi di semua lapis umat Islam. Tukang ojek pinggir jalan yang lagi mabok pun tahu kalau minum khamar itu haram, meski dia sedang melakukannya.

Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan juga, dengan sengaja, dengan sepenuh kesadaran serta tahu resikonya, maka barulah seseorang akan disiksa di neraka.

Tetapi…

Manakalah suatu hukum masih menjadi perdebatan para ulama, maka seorang yang memlilih salah satu versi pendapat itu tidak akan dikenai sanksi oleh Allah SWT. Sebab sebagian ulama mengatakan haram tetapi sebagian mengatakan halal, sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan menjadi berbagai versi pemahaman.

Logikanya sederhana saja, bagaimana mungkin Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang itu main hakim sendiri, main siksa dan main kayu kepada hamba-hamba-Nya, sementara aturannya tidak jelas, multi tafsir dan memang sulit dipungkiri.

Lalu di mana keadilan Allah? Di mana kerahiman Allah? Mengapa Allah seakan membuat jebakan buat hamba-Nya sendiri? Di mana Allah SWT sengaja membuat dalil yang multi tafsir lalu siapa yang salah dalam menafsirkannya, harus siap dilumat api neraka.Tentu Allah SWT bukanlah tuhan dengan sikap rendah seperti itu.

TEKNOLOGI = ada atau tidak adanya para nabi dan rosul teknologi itu akan senantiasa bertambah maju dan canggih dan hakikat alloh mengutus para nabi dan rosul itu bukan memperbaharui TEKNOLOGI tetapi memperbaharui aqidah(keyakinan). dan teknologi diciptakan dan di kreasikan oleh MANUSIA dan atas ijin alloh azza wajjala.

contoh: jauh sebelum datangnya nabi muhammad saw orang2 jahilia dan bangsa romawi telah mengenal bagaimana cara pembuatan Pedang, Baju perang, alat panah, alat makan, alat minum, rumah, benteng, dsb.
dan ketika seorang PENCIPTA (teknologi) menciptakan sesuatu yang ia ciptakan maka yang mengatur dan mengoperasikan adalah hak dari seorang Pencipta yang lagi2 pasti atas ikut campur alloh azza wajjala bisa mengendalikan dan mengoperasikan ciptaanya sendiri..apalagi dengan kecanggihan teknologi saat ini yang teramat cangih begitu banyak teknologi yang tercipta hari demi hari selalu di perbaharui tetapi beda halnya dengan aqidah yang mana DARI AWAL PENCIPTAANNYA SAMPAI AKHIR ZAMAN AKAN SELALU SAMA DAN TIDAK BERUBAH itulah janji allah yang pasti.
perkara DUNIA dan AKHIRAT itu ada aturannya masing-masing..

Jawab Abu Jaisy:
Saya tidak membahas masalah teknologi loh. Afwan, antum tahu maksud dari point yang ana sebutkan apa tidak yah? Karena kok kayaknya nggak nyambung sekali.
Yang saya maksud dengan “Jika antum men-generalkan dalil tersebut, tentu saja kita semua tidak boleh untuk belajar ilmu Fisika, kimia, matematika, Komputer, dll. Karena disitu terdapat hukum-hukum/aturan-aturan/rumus-rumus yang bukan datang dari Allah, dan itu datangnya dari para master-master produk dari Demokrasi.”

Ini bukan masalah teknologinya, tetapi masalah hukum/aturan/syari/at itu sendiri, yang bersumber bukan dari Allah. Jika antum berpendapat seperti yang antum sebutkan sekarang, berarti antum menafikkan dalil antum yang menyatakan pada intinya “semua produk hukum yang bersumber pada demokrasi adalah haram walaupun itu hukum yang bersumber dari Islam”. Nahkan lucu, disatu sisi mengharamkan, tetapi disatu sisi jika menguntungkan dihalalkan! :D

Antum mengatakan “perkara dunia dan akhirat itu ada aturannya masing-masing…” Lah ini kan tambah lucu! Bukankah Demokrasi itu mengatur dunia! Demokrasi tidak mengatur shalat, zakat, puasa, dll. Tetapi mengatur hanya sebatas kedunia’an. Nahkan antum malah menjadi sekuler sekarang! Membedakan perkara dunia dan akhirat. :D Bukankah Islam diturunkan itu untuk mengatur perkara dunia yang akan dijadikan pertanggung-jawaban di akhirat kelak!

Tidak hanya teknologi yang berubah, tetapi ijtihad para ulama juga akan terus diperbaharui atau berubah-ubah. Karena strata sosial semakin tahun semakin berbeda! Karena Islam itu bukan agama monoton atau bahkan stagnan berjalan ditempat.

perkataan antum:
Ingatkah ketika Utsman bin Affan menyuruh membakar semua tulisan Al Quran yang berada dimana-mana, kecuali Al Quran yang telah dikumpulkannya (mushaf Utsmani). Dan melarang orang untuk membaca Al Quran selain Mushaf yang diterbitkan oleh kekuasaan Utsman pada saat itu.

ana jawab: pada saat perkara membakar semua tulisan al-quran itu adalah bukan perkara makar untuk mengganti HUKUM ALLAH dengan hukum selain ALLAH, tetapi jelas hukum yang diterapkan oleh khalifah utsman bin affan adalah hukum alloh dan rasulnya..dan hukum asalnya membuat mushaf adalah sebuah teknologi yang mana dari sebuah hafalan di ubah dalam bentuk tulisan. dan itu perkara dunia.

Jawab Abu Jaisy:
Perkara Utsman bin Affan yang memerintahkan membakar mushaf yang bukan dari mushaf utsmani adalah perkara dari ijtihad seorang khalifah. Yang mempunyai kewenangan membuat hukum itu sendiri. Jika antum menyatakan “tetapi jelas hukum yang diterapkan oleh khalifah utsman bin affan adalah hukum alloh dan rasulnya” Tolong buktikan nash Qath’i yang menyuruh Utsman bin Affan membukukan Al Quran dan membakar mushaf yang lainnya.

Afwan, antum tahu sirrahnya nggak sih?
Awal mulanya dibukukannya Al Quran adalah atas gagasan para sahabat dimasa Khalifah Abu Bakar, karena melihat begitu banyaknya para hafidz yang syahid. Maka dari itu sahabat2 mengusulkan untuk dibukukannya Al Quran. Ketika itu Abu Bakar berkata “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah” insya Allah seperti itu. Lalu Umar bin Khattab memberikan komentarnya yang pada intinya bahwa Rasulullah juga akan setuju dengan usulan tersebut. Dst….
Dari sini sudah jelas, bahwa Abu Bakar sendiri menyatakan membukukan Al Quran itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dengan begitu Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan sampai kepada Utsman bin Affan, yang sudah membukan Al Quran tersebut adalah tidak ada dalan nash qath’i kecuali ijtihad dari kewenangan penguasa untuk membuat hukum itu sendiri. Bahkan membakar mushaf yang lain itupun atas kewenangan penguasa untuk membuat hukumnya.

Mungkin saya yang tidak tahu dalil Qath’inya, jadi tolong dibuktikan dalilnya seperti apa yang antum katakan “tetapi jelas hukum yang diterapkan oleh khalifah utsman bin affan adalah hukum alloh dan rasulnya”

perkataan antum: Lalu seandainya apa yang antum katakan bahwa pembuat undang-undang itu memposisikan dirinya sebagai Tuhan, bukankah berarti Sahabat-sahabat Rasulullah juga seorang pembuat keputusan Undang-undang lalu apakah mereka juga memposisikan sebagai Tuhan?

apakah khalifah umar merubah-rubah keputusan jumlah mahar itu perkataan rasul(hadist) atau perkataan umar?? ana belum pernah menemukan dalilnya umar merubah2 dalil. buku rujukan apa yang bisa ana baca untuk tabayun dalam hal perkara tersebut akhi???
dan jika itu tidak benar sungguh kedustaan yang telah kau tebarkan dalam hal perkara ini dengan menfitnah para khilafah merubah hukum-hukum allah sebagai penduan hidupnya.

Jawab Abu Jaisy:
Masya Allah, kasar sekali bahasa antum! (main kasar neh?) :D
Mungkin antum terlalu bodoh atau mungkin terlalu sempit wawasan yang antum ketahui, sehingga tidak tahu masalah seperti ini. “Aku tidak mendengar seorang wanita yang maharnya melewati mahar istri-istri Nabi, kecuali aku akan menguranginya.” Ucap Umar bin khattab. Lalu tiba-tiba seorang wanita berkata kepada Umar “Kau berkata dengan pendapatmu sendiri atau kau mendengar dari Rasulullah? Karena kami menemukan dalam Alquran sesuatu yang tidak sesuai dengan perkataanmu. Dia lalu membaca QS 4:120. Mendengar kritik wanita tersebut, Umar bin Khathab berkata “Perempuan ini betul dan Umarlah yang salah”
Walaupun beberapa ulama mengatakan ini dha’if. Tetapi hal ini tidak mengurangi kadarnya!

dan tidaklah perkataan rasul itu berasal dari akliyahnya melainkan semua itu bersumber dari alloh azza wajjala dan dalam perkara memutuskan peraturan hakim itu rasul bersumber langsung dari allah azza wajjala.

lalu bagaimana bisa antum samakan hukum memutuskan paraturan para hakim saat ini(begeri ini atau dimana saja) dengan peraturan yang buat oleh rasul yang jelas bersumber dari alloh dan bukan hawa nafsu.
kemudian para sahabah adalah orang yang mengataskan syariah dia atas segala-galanya bagaimana mungkin antum bisa samakan dengan para pembuat hukum saat ini yang bersumber dari manusia untuk manusia???

Jawab Abu Jaisy:
Afwan, antum terlalu bodoh atau gimana yah? Perkataan Rasulullah yang bersumber dari Allah adalah dalam Al Quran, perkataan yang berangkat pada diri Rasulullah adalah hadits, dan diataranya ada hadits Qudsi yang bersumber dari Allah tetapi tidak termasuk dalam Al Quran.
Tidak semua keputusan Rasulullah itu bersumber dari Allah, banyak juga yang bersumber melalui pemikiran beliau sendiri. Contohnya adalah ketika beliau ditanya tentang cara menanm buah kurma agar menghasilkan buah yang bagus, atau juga ketika menggunakan taktik peperangan yang ternyata tidak efektif yang akhirnya menggunakan ide dari Salman Al Farisi.

Keputusan seorang qadhi’ (hakim) adalah atas ijtihad dia sendiri, ingatlah perkataan Rasulullah yang menjadi inspirasi dari keputusan Umar Bin Khattab “Rasulullah SAW: Hindarkanlah had (hukuman yang sudah ditentukan, misalnya potong tangan atau rajam–Pen) semampu kalian dari orang Islam. Sebab, lebih baik seorang imam (hakim) salah dalam memberikan ampunan daripada ia salah dalam memberikan had. Karena itu, kata Umar ra: Menggugurkan had dalam masalah-masalah yang belum jelas, lebih baik daripada melaksanakannya.”

perkataan antum :D emokrasi tidak ada dalam Al Quran ataupun As Sunnah
ana jawab: lihat dalil2 yang kemarin ana kasih walaupun dari hasil copy paste tetapi itu adalah sebuah kebenaran yang antum nafikan.. intinya THOGUT itu ya demokrasi.

Jawab Abu Jaisy:
Dalil-dalil yang kemarin sama dengan dalil yang sudah ada sejak dulu-dulu. Isinya hanya ijtihad, tidak ada nash qath’i haramnya Demokrasi.
Kalau bicara Thaghut, maknanya luas. Bisa jadi raja Arab Saudi adalah Thaghut dimata Al Qaidah, Di mata pemerintahan Arab Saudi, Al Qaidah juga merupakan Thaghut. Karena Thaghut sendiri bisa berarti orang yang memusuhi kaum muslimin, orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu, atau bisa juga berhala. Bahkan seorang yang tidak punya kekuasaanpun bisa juga disebut thogut karena perilakunya.

Jadi jelas, Thogut sendiri bukan berarti Demokrasi! Tetapi Thaghut yang antum kira demokrasi juga merupakan ijtihad dari beberapa ulama yang mengharamkan demokrasi. Tentu arti Thaghut bukan Demokrasi! :D

perkataan antum: Syukron, tetapi apakah antum begitu sombongnya sehingga menganggap antum lebih benar daripada ana?
masyaallah antum telah mendahului alloh sebgai yang maha tau akan hal ghaib(hati ana) dan prasangka antum yang ana mengatakan copy paste kan lagi berikut penjabarannya antum katakan sebagai kesombongan ana..sungguh ana ketika mengetikan hal tersebut adalah hanya untuk membagikan apa yang tertulis di dalam alquran dan semua kebenarannya.. dan sungguh ana menulis ini hanya menyampaikan kebenaran yang ana pelajari selama ini. bukankah kita di perintahkan untuk menyampaikan kebenaran walaupun satu ayat..
dan jika yang di copy paste kan adalah sebuah kebenaran dan antum menolaknya, LALU siapakan yang sombong dalam perkara ini…

Jawab Abu Jaisy:
Masya Allah. kalimat tanya kok disebut kalimat justifikasi. Kan sudah jelas “tetapi apakah antum begitu sombongnya sehingga menganggap antum lebih benar daripada ana?”

Kata “Apakah” dan “?” itu memberikan keterwakilan kalimat tanya saya kepada antum. Kok malah antum menghakimi saya berprasangka. Aneh antum ini! Kan sudah jelas antum mengatakan “semoga antum mendapatkan hidayah dari alloh swt untuk kembali kejalan yang benar”

Makna kalimat antum itu yang malah seharusnya dipertanyakan! Antum menganggap saya sesat dengan mengatakan “Kembali kejalan yang benar”. Bukankah itu sudah kalimat justfikasi kesombongan bahwa antum sudah merasa palling benar!

Masya Allah, saya berhadapan dengan orang-orang yang bahlul lagi!

Antum menganggap diri antum paling benar dengan menggunakan dalil-dalil teks Al Quran yang tidak ada hubungannya dengan semua ini kecuali hanya dihubung-hubungkan saja. Lalu sudah menganggap diri paling benar dengan menyampaikan kebenaran yang antum pelajari selama ini. Wuih Sombong banget loe! :D

Masalah ijtihad itu tidak bisa dianggap benar satu pihak, jika seperti itu namanya sombong.

Masalah copy paste, sebaiknya antum tidak perlu lakukan lagi. Sebaiknya antum melihat semua komentar di blog ini, insya Allah sudah ada copy paste jawaban sama yang seperti antum sampaikan. Atau bisa juga di link-kan saja, itu etikanya. Umat Islam itu etikanya tinggi, maka dari itu antum sebagai umat Islam harus beretika jika bertamu ditempat seseorang, atau di blog seseorang. Harus mengikuti aturan pemilik itu sendiri.

Antum tidak menjawab paragraft yang ini “Pelaku hukum itu ada dua, yaitu pelaku hukum pasif dan pelaku hukum aktif. Pelaku hukum Aktif adalah polisi, jaksa, hakim, pengacara. Dan pelaku hukum pasif adalah orang-orang yang diluar pelaku hukum aktif. Dengan begitu antum sendiri adalah secara otomatis pelaku hukum pasif dari hukum yang antum haramkan! Dengan hujjah diatas, antum juga termasuk menyembah para pembuat hukum itu sendiri. Karena mana-mungkin antum melapas semua hukum yang sudah ditetapkan. Dan setiap saat bahkan setiap hari antum telah menyembah hukum tersebut!” Atau memang susah menjawabnya karena masih tinggal di negara Demokrasi.

Yah cepat-cepatlah antum keluar dari negara Demokrasi, karena pasti beban mental berbuat dosa setiap hari :D

bantahan antum tak satu pun bersumber dari alquran dan sunnah dan tak sepantasnya antum membantah sebuah hujjah yang bersumber dari al-quran wa sunnah antum bantah dengan ro’yu antum semata tanpa tabayun terlebih dahulu..dan dari begitu banyak ayat alquran
untuk rujukan silahkan antum lihat di tafsir ibnu katsir bab tentang barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum allah..
di fathul majid tentang hal yang sama..
Majmu Al Fatawa 7/137.
Al Fatawa 7/290
Untuk lebih jelasnya silahkan rujuk Risalah Abu Bashir Abdul Mun’im Mushthafa Halimah tentang Hukmu Istihlal Amwal Al Musyrikin. Wallahu A’lam.

Alhamdulillaahirrobbil ‘aalamiin

Jawab Abu Jaisy:
Hehehe, lalu apakah artikel diatas tidak menjawab komentar antum? Ah, saya kok jadi sanksi dengan keilmuan antum. Kan saya sudah jawab di artikel atas dengan dalil Al Quran. Berarti antum telah menfitnah saya. Semoga Allah mengampuni antum atas fitnah-fitnah keji antum kepada muslim yang lainnya.

Untuk masalah tafsir ibnu Katsir bisa lihat dialog saya dengan hijazalattar.

NB: Masalah Furu’iyah gimana neh? Sudah tahu kan apa itu Furu’iyah, khilafiyah, ikhtilafiah dan ijtihad. Hehehe, Demokrasi kok disangkut-sangkutin sama Furu’ (aya-aya wae!) :D

alfadhl:Quantcast

Analogi2 Admin aneh: yang kita tuntut itu adalah pembuatan hukum di luar hukum Allah, tapi analoginya kenapa ke hal2 yang tidak berkaitan dengan pembuatan hukum, seperti: mushaf, perang khandaq, dan lainnya…

Jawab Abu Jaisy:
Antum harus fair/adil dalam membahas segala masalah. Jika ingin berdialog lebih baik antum membaca keseluruhan apa yang saya maksud. Dengan seperti ini ana menganggap antum ghurur dalam berpendapat. Dalam pertanyaan awal seperti ini
“Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang), maka dia mengklaim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!”

Jawaban pertama (Abu Jaisy):
“Seorang yang memposisikan sebagai penguasa, tentu mereka yang harus membuat peraturan hukum tersebut. Kewenangan dalam membuat hukum itu sendiri sudah dicontohkan dalam Sirrah. Ingatkah ketika Utsman bin Affan menyuruh membakar semua tulisan Al Quran yang berada dimana-mana, kecuali Al Quran yang telah dikumpulkannya (mushaf Utsmani). Dan melarang orang untuk membaca Al Quran selain Mushaf yang diterbitkan oleh kekuasaan Utsman pada saat itu. Ingatkah ketika kekuasaan yang dipegang Umar bin khattab mengumpulkan orang untuk shalat tarawih berjama’ah bukankah itu juga sebuah keputusan seorang penguasa yang belum pernah dilakukan semasa Rasulullah. Lalu bagaimana Umar bin Khattab membuat sebuah keputusan hukum tentang jumlah mahar, walaupun akhirnya direvisi lagi oleh Umar bin Khattab. Tetapi itu sebuah ibrah yang harus kita ketahui. Lalu seandainya apa yang antum katakan bahwa pembuat undang-undang itu memposisikan dirinya sebagai Tuhan, bukankah berarti Sahabat-sahabat Rasulullah juga seorang pembuat keputusan Undang-undang lalu apakah mereka juga memposisikan sebagai Tuhan?”

Jawaban Kedua (Abu Jaisy):
Perkara Utsman bin Affan yang memerintahkan membakar mushaf yang bukan dari mushaf utsmani adalah perkara dari ijtihad seorang khalifah. Yang mempunyai kewenangan membuat hukum itu sendiri. Jika antum menyatakan “tetapi jelas hukum yang diterapkan oleh khalifah utsman bin affan adalah hukum alloh dan rasulnya” Tolong buktikan nash Qath’i yang menyuruh Utsman bin Affan membukukan Al Quran dan membakar mushaf yang lainnya.
Afwan, antum tahu sirrahnya nggak sih?
Awal mulanya dibukukannya Al Quran adalah atas gagasan para sahabat dimasa Khalifah Abu Bakar, karena melihat begitu banyaknya para hafidz yang syahid. Maka dari itu sahabat2 mengusulkan untuk dibukukannya Al Quran. Ketika itu Abu Bakar berkata “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah” insya Allah seperti itu. Lalu Umar bin Khattab memberikan komentarnya yang pada intinya bahwa Rasulullah juga akan setuju dengan usulan tersebut. Dst….
Dari sini sudah jelas, bahwa Abu Bakar sendiri menyatakan membukukan Al Quran itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dengan begitu Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan sampai kepada Utsman bin Affan, yang sudah membukan Al Quran tersebut adalah tidak ada dalan nash qath’i kecuali ijtihad dari kewenangan penguasa untuk membuat hukum itu sendiri. Bahkan membakar mushaf yang lain itupun atas kewenangan penguasa untuk membuat hukumnya.
Mungkin saya yang tidak tahu dalil Qath’inya, jadi tolong dibuktikan dalilnya seperti apa yang antum katakan “tetapi jelas hukum yang diterapkan oleh khalifah utsman bin affan adalah hukum alloh dan rasulnya”

Sampai sekarang saudara abuusamahalfatih belum menjawab pertanyaan saya, (inilah kebiasaan, kaalau sudah “terjepit” pasti akan lari. Apakah antum nanti juga seperti itu juga? :) )

Pernahkah ditanya pada para penguasa saat ini:
1. Melarang perzinaan..?? Dan menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah. Jika tidak, maka mereka berarti tidak berhukum dengan hukum Allah, berarti ada hak Allah yang diambil yakni hak hakimiyyah Allah dan ini adalah termasuk salah satu kekhususan Uluhiyyah Allah. Jika pemerintah tidak berhukum dengan hukum Allah dan menghukumi warganya dengan hukum yang tidak diturunkan Allah, maka pemerintah berarti telah menjadi thaghut baru karena mengambil hak hakimiyyah Allah. Ini yang dimaksud Rasulullah dalam Kisah ‘Ady di atas. Dan orang yang mengiyakannya berarti sedang beribadah pada hukum2 tersebut.

Jawab Abu Jaisy:
Lalu apakah ketika Umar bin Khattab tidak melaksanakan hukuman kepada seorang pencuri itu juga telah melanggar hukum Allah? Apakah ketika hukuman rajam di batalkan dengan cara berdamai itu juga menyelisihi hukum Allah? Lalu, apakah ketika antum dijalan bertemu orang kafir juga telah melaksanakan hukum disyari’atkan Allah?

2. Syirik merupakan dosa besar yang pelakunya adalah kafir (tidak ada perbedaan), saat ini dalam dunia demokrasi, asalkan rakyat dan suara mayoritas mendukung, maka syirik akan tetap bertebaran. Misal: (afwan nyebut nama tempat) di Cirebon, Benten, Solo, Jokja, dan tempat2 lainnya, yang terbaru adalah di kuburannya Gusdur. Dalam titik ini pemerintah yang memiliki kekuasaan tidak berusaha untuk menghancurkan kesyirikan, padahal mereka mampu melakukannya, bahkan membiarkan dengan alasan kebebasan berkehendak dan kebebasan berkepercayaan.

Jawab Abu Jaisy:
“Pemimpin itu hadiah dari Allah, jika rakyatnya buruk maka pemimpinnya pun akan buruk, jika rakyat baik maka Allah juga akan menghadiahkan pemimpin yang baik” (Syaikh At Tamimi). Lalu sudah merasa baikkah diri antum dan sudah mampu berbuat sesuatukah terhadap apa yang antum permasalahkan. Atau antum hanya sekedar ghirah yang tak tersalurkan? Adakah Rasulullah saat futuh Mekkah, berteriak-teriak tentang penghancuran berhala-berhala? Karena kebanyakan para harakah dakwah mengatakan saat ini bagaikan futuh Mekkah maka hal ini perlu dijawab dengan baik!

3. Rasulullah bersabda bahwa murtadin harus dihukum mati, namun di Indonesia -atas nama demokrasi- membiarkan mereka, dengan alasan kebebasan beragama.

Jawab Abu Jaisy:
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga hal: [1] Seorang yang telah menikah namun berzina, [2] Membunuh nyawa dengan tidak hak dan [3] Orang yang meninggalkan agamanya (Islam) serta meninggalkan jamaah. (HR. Bukhari Muslim)”

Sekarang kita harus sadar diri, apakah Indonesia ini sudah menjadi negara Islam sehingga kita dengan mudah meminta Indonesia untuk menghukum mati orang yang murtad? Karena perlu diperhatikan bahwa semua vonis murtad itu harus berasal dari proses hukum formal dan vonis juga berasal dari lembaga hukum yang formal. Berarti ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) kita semua untuk memperjuangkan hal tersebut.

4. Dalam dunia demokrasi, kebebasan berekspresi diutamakan, karenanya selama tidak mengganggu orang lain, tidak masalah bagi seseorang untuk melanggar syariat, dan -atas nama demokrasi- pemerintah meng-iyakannya. Contoh kasus: Film Air Terjun Pengantin dan yang Terbaru Film Suster Keramas…er

Jawab Abu Jaisy:
Seharusnya kita juga sadar dengan demokrasi ini. Sekarang yang patut dipertanyakan adalah, seberapa banyak mu’min dengan pelaku maksiat? Jika banyak pelaku mu’minnya, tentu insya Allah kita mampu menerapkan apa yang ingin kita terapkan. Tetapi ketika pelaku maksiat itu lebih banyak, yah jangan menggerutu kalau kalah! Terimalah kekalahan dengan lapang dada. Karena dengan begitu kita tahu kualitas dakwah para mu’min tidak sebanding dengan apa yang diharapkannya sendiri. Istilahnya “Nafsu besar tenaga kurang”.

Masalah film seperti ini, bisa antum lihat di artikel saya yang ini —-> Kenapa Miyabi (Maria Ozawa) Dilarang Main Film Di Indonesia.

5. Allah memerintahkan kita untuk berhukum dengan apa yang diturunkan BUKAN “seperti apa yang diturunkan-Nya.” Walaupun sesuai, hakim dalam persidangan (misal pencuri di Indonesia dihukum potong tangan, namun…) akan berkata : “Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dalam fasal sekian ayat sekian, bukan ditujukan kepada nash2 yang syar’i… Berarti hakim tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan, berarti hakim tidak menjadikan Rasulullah sebagai pemutus perkara… Allah berfirman: “Tidak beriman di antara kalian hingga menjadikan engkau (hai Muhammad) sebagai hakim atas perkara di antara mereka.”

Jawab Abu Jaisy:
Apakah yang antum maksudkan ini An Nisaa’ ayat 65. Yang berbunyi “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Semua ulama sepakat bahwa ayat diatas menyangkut masalah ibadah mahdhah. Perlu di ingat dan diperhatikan bahwa ada dua jenis ibadah: ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah (sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan sudah sangat jelas sekali, sedangkan definisi Demokrasi itu sendiri berbeda-beda maknanya. Demokrasi ala Amerika, berbeda dengan Demokrasi ala Indonesia, Demokrasi ala Filiphina juga berbeda ala Indonesia dan Amerika, begitu juga seterusnya. Pada hakekatnya demokrasi tidaklah sesuai dengan yang seharusnya. Jadi kenapa pusing memikirkan kata “demokrasi”. Apalagi diharamkan mutlak terhadap Islam, padahal sudah jelas-jelas pengharaman mutlak terhadap Islam selain ada dalil Qath’i-nya itu diharamkan oleh Allah! Jadi mengharamkan demokrasi itu adalah sebuah ijtihad, bukan berasal dari Islam!

““Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl 116)”

Afwan… Kepada admin tolong analoginya yang sesuai, Demokrasi menyangkut halal-haram dalam hukum yang qath’i, tapi analogi antum menyangkut strategi dakwah.

Jawab Abu Jaisy:
Bukankah mengikuti demokrasi merupakan juga strategi dakwah! Sedangkan orang yang mengharamkan demokrasi secara memutlakkannya dalam Islam, sampai sekarang belum ditemukan dalil qath’i-nya!

alfadhl:Quantcast

Ana bukan pelaku hukum pasif demokrasi Pancasila… Ana berbuat baik (tidak membunuh, tidak mempekosa, tidak berzina, tidak mencuri, dan lainnya) bukan dalam rangka menaati UUD dan Pancasila, namun karena Allah yang memerintahkan hal yang demikian.

Adapun untuk masalah kebaikan2 umum, seperti berhenti pada saat lampu merah, berjalan di sebelah kiri, dan lain2nya adalah karena hal tersebut merupakan ‘urf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan al Quran dan as Sunnah dan semua itu dilakukan untuk kebaikan manusia…

Jadi, ana bukan pelaku hukum pasif demokrasi… Adapun pajak, dan lain sebagainya ana tidak melaksanakan kecuali dipaksa (misal otomatis ditarik dan dipotong oleh pemerintah)…

Jawab Abu Jaisy:
Inilah yang sering tidak diakui oleh orang-orang seperti antum. Jelas orang seperti antum tidak bisa adil dalam menempatkan sesuatu hal! Kan sudah dijelaskan, secara otomatis, mengakui atau tidak. Antum ini telah melakukan hukum Demokrasi. Walaupun dengan alasan apapun! :D

Sekarang, jika Allah memerintahkan untuk membunuh orang yang melewati shaff / garis sutra kita, apakah kita akan memukul atau bahkan membunuhnya? Apakah ketika kita (muslim) lewat dijalan raya dan mengetahui ada orang kafir berjalan juga apakah kita akan menghadangnya?

Hehehe, dijaman Rasulullah sudah ada Lampu lalinnya yah? Aneh-aneh saja alibi antum ini! Antum mengatakan ini ‘urf / adat kebiasaan. Kalau hanya sebatas adat, lalu kalau ada polisi menilang dengan mengatakan “Anda melanggar lalu lintas dengan dasar ayat …. UU Lalu Lintas” Bukankah hal itu sudah antum katakan bahwa “Jika pemerintah tidak berhukum dengan hukum Allah dan menghukumi warganya dengan hukum yang tidak diturunkan Allah, maka pemerintah berarti telah menjadi thaghut baru karena mengambil hak hakimiyyah Allah. Ini yang dimaksud Rasulullah dalam Kisah ‘Ady di atas. Dan orang yang mengiyakannya berarti sedang beribadah pada hukum2 tersebut.”

Hehehe, antum menafikkan perkataan antum sendiri. Masya Allah. Yah seperti inilah jika mencari pembenaran saja, bukan kebenaran!
Loh siapa yang memaksa membayar pajak? Pemerintah? Wah, antum salah kaprah! Sudah memakai jalan dan fasum (fasilitas umum) seenaknya tapi nggak mau bayar apa-apa. Jadi Pajak Penghasilan, Pajak kendaraan bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan, dll. Itu langsung dipotong yah oleh pemerintah? Bukankah hal-hal tersebut harus seizin/persetujuan kita! Kalau mau, tidak membayar juga tidak apa-apa, asal tahu konsekuensinya saja!

Dalam Undang-Undang pun pajak telah ditetapkan, antum sendiri yang “rela” dipotong/ditarik oleh pemerintah. Pada dasarnya mematuhi Undang-Undang Pajak itu sendiri, jika antum tidak mengakui, secara otomatis antum pasti akan meminta hal tersebut karena merupakan haq antum pribadi.
Atau antum akan mengatakan bahwa mengikhlaskan hal tersebut untuk sedekah!? Kalau terus seperti ini, yah sudah pasti. Antum hanya cari pembenaran untuk memaksakan kebenaran versi antum sendiri. Hal ini jelas gawat sekali!

Admin seringkali membuat a haqq menjadi sangat relatif, misal dalam mendefinisikan “thaghut”, ya, itu ijtihad namun bukan berdasarkan hawa nafsu… Toh, orang2 seperti ana dan sepemikiran dengan ana pasti dicap TERORIS… tapi, dalam makna yang haqq di hadapan Allah, siapakah yang dilaknat oleh Allah..?? Kami – yang berusaha berjalan di atas haqq, bii idznillahi ta’ala – atau Para pemimpin Kafir seperti Pemerintah Amerika dan Zionist..?

Jawab Abu Jaisy:
Hehehe, saya menjelaskan hal tersebut karena memang sudah sangat relatif, siapa yang berijtihad. Ingatlah “Apa yang dipikirkan seseorang itu, adalah apa yang dia dapatkan dalam kehidupannya” tahu teori pemikiran tersebut!? Saya jelaskan sedikit, dalam kehidupan setiap orang itu mengalami pengalaman yang berbeda-beda. Apa yang kita alami itu berbeda dengan yang dialami orang yang lain. Dan itu juga merujuk pada para ulama. Kenapa ulama satu dengan ulama yang lain berbeda dalam menempatkan hukumnya, karena mereka satu sama lainnya berbeda pola kehidupannya! Kenapa Ulama Palestina cenderung lebih memilih berperang dan kenapa fatwa ulama saudi lebih memilih menahan diri. Ini adalah jelas corak pandang yang berbeda dari satu kehidupan para ulama. Tidak bisa kita mengklaim bahwa mengatakan “ulama Palestina lebih faqih, daripada ulama Saudi. Atau mengatakan Ulama Saudi lebih faqih daripada ulama Palestina”.

Hal tersebut jelas dilarang dalam Islam! Yang patut diperhatikannya adalah pola kehidupan mereka (ulama) dari situasi dan kondisinya. Sehingga kita bisa mengerti fatwa-fatwa satu dengan yang lainnya. Tidak malah menghakimi satu persatu, dan melabelkan ulama yang kita anuti paling faqih! Ingatlah perkataan Imam Maliki “Janganlah engkau menjadikan madzhabku menjadi madzhab umat Islam seluruhnya, hal itu akan menjadi fitnah! Sahabat Rasulullah satu dengan yang lainnya diturunkan Allah ditempat yang berbeda-beda. Dan setiap isi dalam kepalanya itu juga berbeda-beda satu dengan yang lainnya” Insya Allah seperti itu!

Siapa yang dilaknati Allah? Yah kita merujuk pada Al Quran dan As Sunnah! Membunuh mu’min, mengkafirkan mu’min yang lainnya, berkhianat, dll. Itu juga salah satu hal yang dilaknati oleh Allah dan Rasulnya! Jadi kenapa kaum khawarij itu dilaknati, yah karena pemahamannya seperti itu, istilah kasarnya “mengklaim paling benar dari kebenaran yang lainnya!”
Bedakan konteksnya masalah ini antara Amerika dan Zionis Israel! Kalau konteks yang dimaksud mereka (Amerika dan Zionis Israe) yah tentu tidak perlu dipertanyakan lagi siapa yang dilaknati oleh Allah!

alfadhl:

Quantcast

Ana sepakat, jangan cari pembenaran tapi cari kebenaran… Dan ana liat di antara antum sekalian masih menutup pintu hati untuk menerima kelemahan masing-masing sehingga mengedepankan egoisme masing-masing…

Jawab Abu Jaisy:
Tapi antum belum-belum sudah memberikan pembenaran dari kebenaran yang lainnya! :)

Yang pasti demokrasi BUKAN BERASAL dari ISLAM, dan TIDAK SEJALAN dengan ISLAM…

Jawab Abu Jaisy:
Nahkan, belum-belum ups sudah beberapa kali antum mencari-cari pembenaran. Padahalkan sudah jelas, hal ini masih debatable! Masih berbeda prinsip ijtihad masing-masing ulama saja sudah langsung klaim seperti itu! Kalau asal kata Demokrasi yah memang bukan dari Islam. Tetapi kalau ada beberapa prinsip dari demokrasi itu sendiri, bisa jadi demokrasi itu adalah barang curian milik Islam!

Namun yang pasti adalah TIDAK ADA DALIL QOTH’I TENTANG HARAMNYA DEMOKRASI

Adapun Asatidz yang saat ini ada di Parlemen tidak pernah memperjuangkan demokrasi (ini yang ana dapat dari taujih salah seorang masyaikh dakwah Tarbiyah di hadapan anggota Parlemen tahun 2004), kecuali jika visinya telah berubah…

Jawab Abu Jaisy:
Loh, kalau niatnya memperjuangkan demokrasi itu jelas haram! Kalau niatnya memperjuangkan wanita itu juga jelas haram! “Sahabat Umar bin Khathab ra berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sahnya semua amal hams disertai niat Dan suatu perbuatan yang dilakukan seorang sangat tergantung pada niatnya. Barangsiapa berhijrah karena hendak mencari keridhaan Allah dan rasul-Nya, tnaka keridhaan Allah dan rasul-Nya pulalah yang akan dijumpai. Dan barang-siapa berhijrah karena hendak mencari kekayaan dunia atau karena wanita yang hendak dinikahi, maka apa yang diUiju itulah yang ditemuinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukankah hal itu yang selalu ditekankan oleh Syaikhul Dakwah Tarbiyah di Indonesia! Ini sama saja dengan yang lainnya, tidak hanya di parlemen. Buruh, Karyawan, PNS, Dan entah apa namanya. Intinya harus menjaga niatnya dalam berbuat. Orang islam kalau niatnya hanya untuk dunia dan isinya, tentu saja dia hanya mendapatkan hal tersebut. Maka dari itu “JAGALAH NIAT JANGAN ENGKAU SIMPANGKAN, JAGALAH NIAT LENTERA HIDUP ISLAM” :D

Cuma memang dalam perkembangannya menjadi: para penganut demokrasi itu sendiri, karena demokrasi itu menghendaki suara terbanyak, maka logika demokrasi harus dipakai oleh aktivis Tarbiyah, contohnya yang sederhana adalah mendukung Gus Dur menjadi Pahlawan… Ini jelas bathil… Ini adalah mudhahanah yang diharamkan… Seorang al Akh di facebooknya Ustadz Mahfudz Sidiq bilang klo Partai’nya Ikhwah Tarbiyah itu nggak mendukung Gus Dur, maka akan kehilangan suara Nahdhiyyin… Ada yang bisa menjelaskan ini..???

Jawab Abu Jaisy:
Tabiat seorang muslim itu memberikan penghargaan kepada orang atas jasanya adalah hal yang biasa. Kenapa sih ribut dengan gelar pahlawan! Kalau PKS dicaci-maki, dihujat, difitnah nggak ribut-ribut amat. Hanya gelar “Simbol” pahlawan saja dibesar-besarkan! Aneh kita ini.
Saya dulu diwilayah Sidoarjo, sekarang pindah diwilayah Mojokerto (dekat dengan Jombang), walaupun saya hidup dan dibesarkan dari luang lingkup Muhammadiyah. Tetapi saya hidup dan berorganisasi dengan orang-orang NU. Tercatat saya 2003 sebagai Sekjen PMII Cabang Surabaya. Walaupun saya saudah tertarbiyah mulai 1998. Tetapi ada skala prioritas bagi saya untuk memahami konsep perjuangan masing-masing umat Islam! Terlepas kontroversi Gus Dur. Saya lebih memilihnya menjadi sebuah ibrah, bukan justifikasi!
Oh iya, boleh tahu antum tinggal didaerah mana? Kalau antum mau merasakan tinggal di Daerah NU, atau dekat dengan Tebu Ireng, Jombang. Tafadhal hubungi saya! Seperti yang saya bilang, setiap orang berbeda tingkat pola pemikirannya karena dipengaruhi daerah sekitarnya. Kalau antum jumud hanya berada pada wilayah kajian yang Bid’ah, Jihad, Haram dan halal, dsb. Antum harus refres dengan berkunjung di kajian yang berbeda, tidak perlu merasa lebih pintar hanya duduk, diam, mendengarkan, telaah sendiri, ambil yang baik, dan buang yang buruk!

Oh iya, perlu diketahui. Bahwa salah satu ustad di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ada yang menjadi Sekretatris DPD PKS Jombang! Insya Allah beliau yang lebih memahami apa yang terbaik untuk PKS di Jombang, bukan saya ataupun antum! Dan di Tebu Ireng sendiri, banyak juga Kyai yang tidak “sreg” dengan Gus Dur. Tetapi walaupun begitu mereka-mereka masih memberikan hormat atas tsaqafah yang dimiliki Gus Dur. Inilah akhlaq yang harus ditiru, bukan justifikasi semata tanpa menghargai manfaat yang lainnya. Anak dari Gus Sholah (adik Gus Dur), juga merupakan kader PKS yang “tersembunyi”. Ada satu Kyai dari Tebu Ireng (saya lupa nama beliau), juga sangat bangga jika dirinya disebut PKS atas kesamaan Sunnah yang dilakukan beliau.

Dan dari semua ini, saya ingin bilang “Bahwa masyarakat NU itu unik, yang mampu menembus mereka adalah dari mereka sendiri”. Ciri karakteristik masyarakat NU itu sangat menghormati Kyai, hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu menghormati para ulama, walaupun berbeda ijtihad dengan yang kita yakini!

Ana sudah kirim email ke DSP Partai tersebut, tapi belum ada jawaban, bahkan ana kirim ulang, tapi juga belum dijawab terkait dengan syubhat Gus Dur…

Jawab Abu Jaisy:
Yah jangan berprasangka buruk jika sampai sekarang syubhat antum tidak dijawab oleh DSP! Kerja dewan Syari’ah Daerah saja sangat sibuk apalagi Dewan Syari’ah Pusat! Sudah seharusnya antum bertanya hal itu kepada DSD, atau DSW. Bukan ujug2 langsung tanya ke DSP, bahasa kasarnya “Emang siapa loe!” :D
Saya pernah bertanya kepada salah satu ustad di DSW, kenapa ada beberapa pertanyaan yang dijawab dan ada yang tidak. Ustad DSW tersebut mengatakan “Kita harus memilih dan memilah, mana yang benar-benar bertanya dan mana yang bertanya namun sifatnya diskusi/debat. Kalau sifatnya memang benar-benar bertanya, maka itu wajib kita jawab. Tetapi kalau hanya sebatas diskusi/debat, kita boleh tidak meladeninya! Hal ini pernah dicontohkan beberapa ulama salaf yang tidak meladeni orang-orang yang bertanya tetapi dengan tujuan mendebatkannya. Apalagi, masih banyak pekerjaan yang harus kita tunaikan daripada menjawab pertanyaan satu yang tidak ada ujung pangkalnya!”

Sekarang koreksilah diri antum, apakah antum tulus dan ikhlas menanyakan sesuatu hal tersebut. Atau ingin mendebatkannya? Wallahu’alam. Antum sendiri yang tahu!

Dalam titik ini, berarti para aktivis dakwah yang pro demokrasi telah terbawa arus untuk mengorbankan akhirat (berwala terhadap Gus Dur) untuk dunia (meraih suara)… Na ‘udzu billah…

Jawab Abu Jaisy:
Naudzubillah. Antum telah berprasangka! Bukankah termasuk niat, dan niat itu urusan Allah! Kenapa antum harus menghakimi sesuatu yang seharusnya itu adalah hak Allah! Apakah antum sudah mampu menyaingi Allah sehingga berkata seperti itu? Astagfirllah. Bertobatlah atas pernyataan tersebut!

Ana juga masih tercatat sebagai kader Partai ini… tapi, ana seringkali menemukan beberapa Ikhwan yang bilang klo fikrah ana sudah rusak, tidak tajarrud, insilakh dan lain sebagainya…

Jawab Abu Jaisy: :D Saya juga dulu mendapatkan hal seperti itu, ikhwah yang lain juga pernah curhat kepada saya tentang hal itu. Tetapi saya lebih memilih untuk diam, daripada terus sesumbar! Diam itu lebih baik daripada sesumbar yang akan membuat kerusakan. Diam dan koreksi diri, kenapa jiwa kita membuat firqoh sendiri dari yang lain. Setelah banyak membaca, akhirnya yang harus dipahamkan bahwa Jamaah Tarbiyah ini syumul. Kita boleh berbeda masalah ijtihad ulama, tetapi masalah tandzhim harus satu. Sebagaimanapun kita tidak setuju dengan keputusan tandzhim kita tetap harus melakukan hal tersebut. Karena sebuah keputusan tandzhim itu tidak diputuskan oleh satu dua orang, tetapi oleh 99 DSP. Lalu apakah kita sudah merasa sombong bahwa pemikiran kita lebih hebat daripada pemikiran para pakar Syari’ah diamanahkan untuk berfikir syar’i? “Hakekat Nasehat” Dan kenapa saya menuliskan hal ini —:> Improvisasi Kader Karbitan Yang Selalu Menyesakkan Dada karena tidak sedikitnya orang-orang seperti saya (Abu Jaisy) yang ketika itu baru seumur jagung belajar syari’at lalu mengklaim diri yang paling benar sendiri. Beruntung saya dibimbing oleh ustad yang hanif, sehingga tahu bagaimana hal yang seharusnya dilakukan oleh orang yang seperti saya! Dan sekarang inilah bentuknya. Saya bukan berarti menjadi ashabiyah, tetapi saya lebih enjoy saja berada pada jamaah yang mampu bergerak bebas atas dalil yang mampu dibuktikannya, bukan asumsi semata. Yah seperti Umar bin Khattab yang mengurungkan memotong tangan seorang pencuri!

Namun ana fikir kita harus mengakui kelemahan diri… Jika memang ada yang bertentangan dengan al Quran dan as Sunnah yaa wajib kita tentang…

Jawab Abu Jaisy:
Menentang itu dilarang dalam kaidah Islam. Tetapi memberikan nasehat, jika mudah menentang itu namanya cara para khawarij! Tetapi mukmin itu memberikan nasehatnya kepada mu’min yang lainnya, juga kepada para penguasa! Dan belum tentu nasehat kita lebih benar dari orang yang kita nasehati, itu prinsipnya. Memberikan nasehat dengan ikhlas, jika tidak diterima yah harus ikhlas, bukan menggerutu, membuat makar, mempengaruhi yang lain, dsb!

Satu lagi: ana mau tanya kepada Ikhwah Fillah sekalian –> APA TUJUAN AKHIR DA’WAH..???

Jawab Abu Jaisy:
Tergantung niatnya masing-masing. Jadi tidak perlu di ekspos, Allah yang tahu apa tujuan dakwah saya, antum dan ikhwah yang lainnya!

alfadhl:

Quantcast

Afwan jadinya menjurus ke salah satu partai tertentu, tapi, ini hanya contoh kasus bagaimana da’wah di Parlemen dengan menggunakan logika demokrasi… Afwan jiddan buat antum Ikhwah2 Tarbiyyah,,, Mungkin juga di partai2 yang lain lebih banyak lagi kemadharatannya (ini hanya prakiraan), wallahu a’lam…

Semoga menjadi otokritik bagi para aktivis da’wah yang Pro Demokrasi (termasuk ana)…

Jawab Abu Jaisy:
Setiap Harakah punya kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Yang memilih jalur Demokrasi dan yang tidak, yang terpenting tidak perlu mengklaim paling benar dari ijtihad ulamanya sendiri!

alfadhl:

Quantcast

Sepertinya demokrasi sampai kapanpun tidak akan menjadi Syuura… Karena:
1. Hukum ada tangan manusia, bukan Tuhan…
2. Hukum berdasarkan suara terbanyak dan kesepakatan rakyat, bukan al Quran dan As Sunnah…
3. Syuura memperhatikan kemashlahatan yang diukur dengan nash syar’i dan qath’i, sedangkan demokrasi diukur oleh logika dan (bisa jadi) hawa nafsu manusia….
4. Syuura adalah mencari putusan dari orang-orang terbaik, orang-orang yang faqih terhadap agama, sedangkan demokrasi, siapapun bisa asal banyak didukung suara… Sehingga suara seorang Kiyai akan sama dengan suara seorang pezina… dinilai 1… Suara para da’i dan mujahid akan sama dengan suara kaum kuffar… Demi Allah ini bukan sesuatu yang dibenarkan… Hukum Allah itu harus ditegakkan bukan untuk disodorkan di hadapan parlemen, lalu kita bilang: “Hayu, siapa yang setuju sama hukum Allah angkat tangan….” Ini menurut saya (pandangan pribadi) adalah penghinaan terhadap hukum Allah, karena menjadikan manusia sebagai Hakim (pemutus perkara) dalam menentukan langkah manusia…

Jawab Abu Jaisy:
Afwan bukannya saya malas menjawab, jikalau antum memang berniat mempelajari kebenaran. Pasti akan melihat seluruh postingan dan jawaban saya. Dan pertanyaan seperti ini sudah berulang-ulang kali ditanyakan disini. Tafadhal dibaca seluruh postingan dan jawaban komentar saya dengan kerendahan hati, dan bukan dengan jiwa yang tidak tenang. Atau bisa juga langsung di kunjungi —:> Mengatasi Masalah dengan Masalah (Mengharamkan Demokrasi Demi Madharat yang Lebih Besar)
Mossad: Jangan Sampai Arab Mengikuti Demokrasi, Biarkan Mereka Menjadi Negara Monarki Absolut
Umat Islam Harus Memenuhi Tantangan Demokrasi
Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
Sistem Demokrasi: Apakah Sesuai Syariah?
SATU ORANG SATU SUARA (Ulama & Non-Ulama Sama Saja)

alfadhli:

Quantcast

Tafadhal, akhi… Ternyata jalan kita memang berbeda…
Namun, ana teringat seorang Ustadz yang pernah berkata kepada ana. Waktu itu ana bersama beliau sedang berada di Pangalengan, Bandung dalam rangka membantu korban gempa Jawa Barat.

Ana sebagai utusan KAMMI dan FSLDK sempat berincang dengan ustadz tersebut, beliau hanya mengatakan: walaupun kita saat ini berada dalam manhaj dan fikrah yang berbeda, ana hanya berharap ketika tiba saatnya nanti, perang kubra itu terjadi, kita berada dalam satu barisan melawan kaum kuffar…

Dan itu pun yang ingin ana katakan kepada antum dan orang-orang yang bersama antum…

Tersebarnya buku Ma’alim fii Ath Thariq Asy Syahid (insya Allah) Sayyid Quthb di kalangan aktivis yang semangat dan tanpa ilmu, banyak terjadi penyimpangan dari kalangan Ikhwan di Mesir, untuk meredam sekte sesat a la Khawarij, Hasan Al Hudhaybi menulis kitab Du’at Laa Qudhat.

Namun di satu sisi, dua buku tersebut merupakan awal munculnya dua madrasah di kalangan Ikhwan, yakni madrasah Jihad dan madrasah Parlementaria.

Ikhwan pada awalnya harus berfikir apakah akan mengikuti aliran Sayyid Quthb untuk terus mengangkat senjata, atau masuk ke dalam sistem dan berperang di parlemen, akhirnya Hasan Al Hudhaybi menetapkan secara resmi bahwa Ikhwan yang dipimpinnya masuk Parlemen, sedangkan madrasah Sayyid Quthb kemudian mendirikan Tandzhim al Jihad untuk merealisasikan pemikiran Sayyid Quthb, sebagai penerus pemikiran Hasan Al Banna…

Jikalau antum lebih memilih mengikuti madrasah Hudhaybi, maka ana lebih memilih mengikuti madrasah Sayyid Quthb… Hanya saja, ana berharap bahwa keberadaan Ikhwan sekalian di Parlemen bukan dalam rangka mengembosi Jihad dan malah membantu kaum kuffar untuk memerangi mujahidin dengan seruan memerangi terorisme…

Ana berharap Ikhwan dan astidz sekalian justru memberikan peluang bagi gerakan jihad agar bisa berkembang, karena gerakan jihad tidak menempatkan ash Shahwah al ISlamiyyah sebagai musuh… Target operasi kami yang paling utama adalah menghancurkan kepala ular: AMERIKA yang ditukangi ZIONIST la’natullah ‘alaiyhim…

Tafadhal antum menyebut apa atas segala aktivitas i’dad dan jihad yang kami lakukan….

Jawab Abu Jaisy:
Yups.
Terlepas dari pemahaman 2 kutub ini, kita berlepas diri. “Al khaqqu mirrabbika falaa takuunanna minalmumtariin” (Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu).
seperti sabda Rasulullah yang pada intinya “Kebenaran itu tidak membuat hati kita ragu” insya Allah seperti itu.
Ketika saya mahasiswa alhamdulillah pernah mengikuti banyak Ormek, mulai dari PMII, KAMMI, menghadiri FSLDK di Samarinda (dulu), BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus-Ikhwah HTI) dan sampai sekarang mengikuti berbagai kajian dari manapun (Hizby Salafy, MMI, NII (saat mahasiswa), Tarbiyah, NU, Muhammadiyah, HTI). Dari berbagai kajian itulah alhamdulillah saya bisa memilah dan memilih ilmu yang menurut saya baik untuk diambil.

Maka dari itu, kenapa salah satu ustad (Ustad. Musbichin, Lc) dari Sidoarjo, pernah berpesan “Masih banyak sekali ikhwah (Tarbiyah) yang tidak tahu jati dirinya. Mereka mengingkari salaf, padahal kita (Tarbiyah) bermanhaj Salaf. Banyak ikhwah (Tarbiyah) bertaklid pada satu ulama sedangkan kita (Tarbiyah/IM) mempunyai banyak sekali ulama. Memberikan penyadaran kepada mereka adalah hal yang paling baik” Insya Allah seperti.
Maksud beliau (Ustad Musbichin) bahwa banyak sekali dari kita yang menganggap satu pendapat satu ulama dan menafikkan ulama yang lainnya. Padahal dalam perjalan Tarbiyah atau Ikhwanul Muslimin, banyak sekali ulama-ulama yang satu sama lainnya kadang berbeda ijtihad. Hal yang membuat miris adalah ketika Syaikh Yusuf Qaradhawi berpendapat tentang Sayyid Quthb harus bertanggung-jawab atas ekstrimis yang berkembang melalui pemikirannya. Dan langsung kecaman diarahkan kepada Syaikh Yusuf Qaradhawi, hujatan, celaan, dsb.

Padahal hal-hal seperti itu (saling berbeda pendapat) adalah hal yang wajar di Ikhwanul Muslimin. Lalu kenapa orang diluar IM yang merasa berhak menghakimi kebenaran salah satunya? Inilah indahnya IM. Walaupun saling berbeda, mereka tidak saling lantas membenarkan pendapatnya sendiri. Namun orang-orang diluar IM-lah yang sering melakukan itu (memilih-milih dan saling mempersengketakan).

Masalah IM di Mesir sekarang yang katanya di berita terjadi “gonjang-ganjing” kepemimpinan dan pergerakan, yang katanya juga antara kaum muda dan kaum tua. Menurut saya adalah hanya sebatas kontra pemikiran. Hal itu biasa didalam suatu gerakan. Hal ini juga terjadi dimana-mana tidak hanya di IM. Namun sampai detik ini, tidak ada gerakan yang mengakui bahwa mereka sempalan dari Ikhwanul Muslimin. Tetapi gerakan yang mengklaim mengambil pendapat/ijtihad/gagasan serta semangat Ikhwanul Muslimin sangat banyak sekali. Gerakan-gerakan inilah yang sering kali mengambil satu ulama IM dan menafikkan ulama yang lain (saya tidak mengatakan harakahnya loh!).

Seringkali fatwa Sayyid Quthb berbeda dengan Syaikh Yusuf Qaradhawi saat ini, atau fatwa Syaikh Yusuf Qaradhawi kadang juga ada yang kontra dengan fatwa Sayyid Sabiq. Atau dengan ulama IM yang lain, hal ini adalah sebuah hal yang biasa dan tidak pernah dibesar-besarkan oleh kader Ikhwanul Muslimin, kecuali bagi mereka yang tidak tahu!

Indah manakalah kita mampu untuk mengetahui berbagai idiom dari berbagai harakah Islam. Hal yang terpenting tidak mengklaim diri paling benar sendiri! Karena perjuangan Islam itu bisa diambil dari jalan manapun, kecuali yang melanggar nash qath’i!

Saya sendiri kadang sepakat dengan pemikiran Sayyid Quthb, atau bahkan kadang tidak sepakat dengan Yusuf Qaradhawi, walaupun sebagian besar saya sepakat dengan Imam Hasan Al banna, tetapi kadang saya juga tidak sepakat dengan pemikiran beliau! Selama ada lebih bagus dan rajih untuk dijadikan dalil, maka itulah yang saya gunakan. Dan itulah hakekat Ikhwanul Muslimin, tidak menjadi taklid buta terhadap ulamanya sendiri! Dan hal inilah yang sering-kali kader Tarbiyah tidak mengetahuinya!

Sesungguhnya kami tidak pernah mengusik gerakan/harakah dakwah yang lain. Dan kami selalu berkhusnudzhan kepada harakah dakwah yang lain, kecuali mereka selalu mencari gara-gara untuk mengusik kami dalam berjuang.

Alangkah lebih baik manakalah kita saling bekerja sama dari hal-hal yang kita sepakati, dan toleran dari apa yang kita perbedakan. Dan bekerja serta berjuang bersama-sama dari lini manapun tanpa harus merasa paling merasa berjasa dan paling merasa yang paling berjuang. Semoga hal ini bisa terwujud!

alfadhl:

Quantcast

Terakhir ingin ana sampaikan, menurut antum semua, dakwah itu bagian dari muraqbatullah atau bukan… Jika memang bagian dari muraqbatullah atau ibadah, maka kaidah ushul fiqihnya jelas:

“Seluruh ibadah diharamkan kecuali ada dalil yang memerintahkannya”

Perintah dakwah jelas dalam al Quran, lalu berkaitan dengan sarana, kaidah ushul fiqh’nya juga jelas:

“Tujuan tidak menghalalkan segala cara.”

Jawab Abu Jaisy:
Jadi sudah jelas bahwa (copy paste jawaban saya lagi) ada dua bentuk ibadah, yaitu ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah (sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan sudah sangat jelas sekali, definisi Demokrasi itu sendiri berbeda-beda maknanya. Demokrasi ala Amerika, berbeda dengan Demokrasi ala Indonesia, Demokrasi ala Filiphina juga berbeda ala Indonesia dan Amerika, begitu juga seterusnya. Pada hakekatnya demokrasi tidaklah sesuai dengan yang seharusnya. Jadi kenapa pusing memikirkan kata “demokrasi”. Apalagi diharamkan mutlak terhadap Islam, padahal sudah jelas-jelas pengharaman mutlak terhadap Islam selain ada dalil Qath’i-nya itu diharamkan oleh Allah! Jadi mengharamkan demokrasi itu adalah sebuah ijtihad, bukan berasal dari Islam!

Jadi tolong belajar lagi yah akhi!

Sekarang – karena dakwah (termasuk caranya) adalah bagian dari ibadah – dan bukan termasuk mu’amalah, maka ana yang sekarang minta dalil qath’i yang membolehkan sarana demokrasi (dengan segala sifat dan kelemahan, berkumpul dengan orang kafir dan sistem hukum yang ada di dalamnya) sebagai wasilah dakwah..??

Jawab Abu Jaisy:
Ditanya belum bisa jawab, kok nanya. Aneh antum ini! Kan sudah jelas di atas judulnya itu “TOLONG BUKTIKAN DALIL QATH’I TENTANG HARAMNYA DEMOKRASI” pertanyaan antum ini sudah saya jawab sebelumnya, lihat di artikel saya yang lain! Definisi ibadah saja belum genap kok sudah berani mendefinisikan sendiri! Masya Allah, Mu’amalah tidak dianggap termasuk sebagai dakwah dan ibadah! Bukankah Mu’amalah itu jelas adalah dakwah dalam ibadah yang termasuk dalam ibadah ‘ammah (sosial). Wah-wah, gawat sekali pehamanan yang seperti ini. Bisa jadi nanti kalau berlaku curang dalam mu’amalah adalah hal yang biasa, karena bukan termasuk dalam ibadah! Na’udzubillah.

Ana mau beranalogi, jika antum tidak menemukan dalil qath’i-nya, maka lihat contoh kasus berikut:

“Seorang Ikhwan bersemangat berdakwah dan ia berharap rekan2nya, para tetangga yang perempuan berjilbab semua (ini adalah tujuan yang mulia), lalu si Ikhwan ini mulai mendekati salah seorang perempuan dengan tujuan berdakwah, mereka lalu “berpacaran” dan ketika pacaran itu, si Ikhwan terus memberikan nasihat tentang pentingnya Jilbab…”
Jawab Abu Jaisy:

Pertanyaannya: Apakah dakwah Ikhwan ini haqq atau bathil..???

Jawab Abu Jaisy:
Lagi-lagi analoginya tidak berbeda, kayaknya memang di setting pertanyaan ini sama semua yah! Afwan akhi, ana males jawab. Sudah ana jawab di komentar sebelumnya, tafadhal lihat jawaban-jawaban komentar yang lainnya!

hijazalattar:Quantcast

Bagaimana juga Demokrasi itu adalah hal yang HARAM, di yakini atau tidak tetap haram, dan jika ada orang muslim yang menghalalkan demokrasi berarti ia telah MURTAD dari Islam. tidak ada dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang membolehkan pemakaian syariat selain syariat Islam. dalil-dalil yang anda pakai itu gak nyambung…“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44) pasti anda tau dengan ayat ini, apa argumen anda

Jawab Abu Jaisy:
12 tahun lalu sampai sekarang saya selalu bertanya, adakah Nash yang Qath’i menyatakan demokrasi itu Haram? Ingatloh dalil Qath’i bukan ijtihad! Tafadhol tolong diberitahukan. Karena yang saya ketahui cuman seperti antum ini, membawa hujjah dari ijtihad seorang ulama. Ingat, mengharamkan sesuatu dengan atas nama Islam (bukan individu atau golongan) konsekuensinya berat dihadapan Allah! Ingatkah ketika seorang Nabi mengharamkan sesuatu yang tidak disukainya dan Beliau di tegu langsung oleh Allah? Lalu apakah taraf ulama sudah mampu menyaingi Nabi sehingga mampu membuat ijtihad dengan menyatakan keharamannya dari Islam, bukan dari individu pribadinya. Jika seseorang mengharamkan atas nama pribada/golongannya hal itu tidak mengapa, tetapi jika hal itu sudah menjustifikasi tentang keharamannya dari Nash Al Quran dan As Sunnah, padahal tidak ada dalil Qath’i masalah tersebut, dan masalah itu masih tetap menjadi Ikhitilaf dimasing-masing golongan, maka keharamannya itu nanti akan menjadi pertanggung-jawaban yang luar biasa beratnya dihadapan Allah nanti.

Oh iya, surat Al Maidah yang antum sebutkan tersebut sebab-sebab turunnya itu untuk pertikaian Yahudi dengan Yahudi, yang ketika itu Rasulullah yang mendamaikannya. Beberapa Ulama Saudi dan Mesir banyak yang menyatakan bahwa surat Al Maidah 44 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” tersebut bukan ditujukan untuk orang Islam, tetapi untuk orang yahudi. Pada saat itu ada pertikaian antara Yahudi dengan kelompok Yahudi yang lain. Karena itu ada salah satu orang Yahudi yang meminta pendapat Rasulullah, tetapi ada pihak Yahudi yang lain tidak mengakui Rasulullah, sehingga muncullah sebab-sebab ayat tersebut. Karena memahami konteks Al Quran itu dengan cara melihat Sebab-sebab diturunkan ayat (Ashbabul Nuzul) Al Quran, serta melihat keseluruhan teks yang dimaksud. Sehingga tidak seenaknya memotong-motong ayat Quran sembarangan, lalu diartikan tekstual. Karena bisa jadi hal tersebut nantinya malah salah persepsi dalam memahami hal yang lain.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. [Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber ; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu ‘alaihi wasallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50)
silahkan komentari tentang hal ini

Jawab Abu Jaisy:
Akhi, kita tidak bisa langsung menterjemahkan tafsiran Ibnu Katsir dengan hanya tekstual saja. Karena hal tersebut bisa jadi “membahayakan”. Ana sendiri tentu paham Syari’at Islam adalah pilihan utama dari segala Syari’at. Dan itu adalah jalan hidup, syari’at Islam bukan hanya Undang-Undang dalam sebuah negara, tetapi itu adalah sikap seorang muslim seharusnya.
Sekarang, Syari’at Islam itu bentuknya seperti apa? Apakah sekedar Undang-Undang layaknya sebuah negara, ataukah itu bentuk dari pedoman/jalan hidup? Tentu bagi setiap Muslim yang berpegang teguh kepada Kitabullah adalah Pedoman/jalan hidup. Jadi Syari’at itu bukan sekedar Undang-undang negara tanpa bisa di-aplikasi, didalam syari’at itu ada bentuk hukuman, tetapi juga ada bentuk pelarangan serta bentuk reward (pahala/hadiah). Nah itulah yang harus dipahami. Nah sekarang, perlu diketahui bahwa UU negara Islam itu diambil dari Al Quran, Hadits serta Ijtihad penguasa. Nah pada dasarnya Syari’at Islam itu konteksnya luas sekali. Dan tentu ada marhalah-marhalah dari setiap memperjuangkan syari’at Islam, lihatlah di Sirrah, bagaimana Rasulullah berdakwah dengan sirry ketika mendakwahkan Islam, baru setelah banyak yang menerima Islam serta mempunyai pemahaman Islam yang benar Rasulullah “mendeklarasikan” Islam. Sekarang banyak orang yang berlabel Islam, tetapi shalat aja tidak pernah dan paling anti dengan syari’at Islam. Lalu apakah kita langsung gembar-gembor syari’at? Tentu harus ada strategi khusus dalam hal tersebut. Jangan sampai seperti salah satu sahabat Rasulullah yang di usir oleh Rasulullah atas tindakannya yang terburu-buru.

Dalam Bahasa Hukum, setiap orang itu adalah pelaku hukum, entah itu pelaku hukum aktif (Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara) atau Pasif (orang biasa). Nah semua orang yang berada di negara ini adalah pelaku hukum secara otomatis. Dan mereka tidak bisa mendeklarasikan dirinya atas ketidak-taatan terhadap hukum, kecuali jika dia memang lepas dari negara itu sendiri (dengan membuat negara sendiri tentunya).

Nah jika antum berpedoman secara tekstual atas tafsiran Ibnu Katsir tersebut, maka sudah jelas semua produk hukum di negara manapun (termasuk negara Arab) tidak ada yang produk Islam murni! Semuanya telah tercampur baur antara satu dengan yang lainnya. Produk-produk hukum itu biasa kita lakukan sehari-hari. Mulai dari hukum Lalin (Lalu Lintas), Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, dll. Adakah antum bisa lepas dari hukum non Islam ini? Tentu tidak!

gogo:

Quantcast

Akhi…kalau yang dimaksudkan adalah adanya dalil di Al-Quran dan hadist secara teks bahwa demokrasi adalah haram maka tentunya tidak ada….yang ada hanyalah secara umum…bahwa kita dilarang memakai sistem selain dari sistem Islam..dan dalil untuk itu banyak (tentunya anda sudah tahu hal tersebut) dalam islam telah diatur bahwa kalau ingin berdakwah harus melalui hal-hal yag benar baik niat, cara dan tujuan….saya tau tujuan anda baik, hanya cara saja yang harus diperbaiki jangan memakai cara yang tidak islami….

Jawab Abu Jaisy:
Itulah yang dilarang keras oleh Allah, menciptakan keharaman yang tidak berada pada sumber Al Quran dan Sunnah, lalu seenaknya mengharamkan atas nama Islam. Rasulullah saja ketika mengharamkan sesuatu yang beliau tidak sukai, langsung ditegur oleh Allah. Apalagi yang bukan Rasulullah menciptakan keharaman atas nama Islam!? Maka dari itu jika tidak ada teksn jelas (dalil Qath’i) kita dilarang mengharamkan atas nama Islam. Jika mengharamkan atas nama individu/golongannya sendiri it’s ok! Jika kita dilarang memakai sistem selain sistem Islam, berarti kita juga dilarang memakai sistem/aturan hukum fisika, kimia, komputer, lalu-lintas, dll. Wah sempit sakali akh pemahaman yang seperti itu! Dalil mengenai pelarangan sistem yang bukan dari Islam itu sudah berada pada ranah Ijtihad, khilafiyah dan ikhtilaf para ulama. Maka kita sudah tentu dilarang untuk mengusik ijtihad mereka apalagi merasa paling benar ijtihadnya sudah mencapai tingkatan sombong itu!

apakah boleh laki-laki dan perempuan berdua-duaan dengan alasan berdakwah…tentu tidak boleh, begitupun dengan demokrasi

Jawab Abu Jaisy:
Hehehe, kalau itu berbeda konteksnya akhi. Kalau antum men-generalisir semuanya. Tentu antum juga haram bermain internet, karena internet bukan sistem dari Islam. :D

apa kebaikan dari demokrasi….apa hasil dari demokrasi yang dirasakan oleh umat sekarang…tidak ada akhi
yang dirasakan hanyalah kesengsaraan dan kezhaliman

Jawab Abu Jaisy:
Akhi, antum harus adil dalam memutuskan sesuatu. Meskipun sesuatu hal itu bukan dari Islam, jika ada kebaikannya antum harus mengakuinya.
“Sahabat Abdillah bin Amrin bin Ash ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil, di sisi Allah mereka berada di atas mimbar (panggung) yang terbuat dan cahaya yang gemerlapan, berada di sebelah kanan Allah. Padahal kedua tangan Allah adalah kanan (mulia). Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam memberikan hukum, berbuat adil kepada keluarga (istri-istrinya), dan adil terhadap apa yang menjadi kekuasannya.” (HR, Muslim dan yang lain).
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”(QS. Annisaa’ 135)
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah 8)

kalau anda mengatakan di negara Arab, memang di Arab tidak Islami hukumnya, bahkan meleceng jauh dari ajaran Islam

Jawab Abu Jaisy:
Negara Timur Tengah itu banyak yang mencampur adukkan hukum Islam dan barat, negara Arab Saudi sendiri memasukkan Syari’at Islam yang begitu banyak, semua itu antum anggap masih melenceng dari ajaran Islam. Lalu sekarang, contoh negara Islam seperti apa yang antum inginkan? Sesuai jaman Rasulullah, dan sesudahnya? Jika itu yang antum impikan, maka sudah barang tentu antum harus duduk manis dan bermimpi tentang itu semua. Pantas orang kafir (musuh) Islam selalu tertawa atas sikap muslim yang selalu bermimpi tentang kejayaan dimasa lampau. Tetapi bagi kami, memimpikan sesuatu itu adalah wajar, yang tidak wajar adalah ketika mimpi itu menjadi keterusan dan tidak pernah terselesaikan. Karena Allah juga melarang orang yang selalu berkhayal (bermimpi) tanpa berjuang, apalagi selalu mencela orang-orang yang berjuang!

Penutup

Abu Jaisy:

Disuatu pertanyaan ada yang bertanya dengan berkata mirip seperti ini (diatas juga ditanyakan)

Tolong Sebutkan dalil qath’i tentang halalnya demokrasi?

Maka sudah seharusnya yang bertanya ini memahami kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Karena demokrasi itu sifatnya adalah bukan ibadah mahdhah, maka secara asal hukum demokrasi tersebut dikategorikan pada wilayah ammah.

Tentu saya mantap akan menjawab

“Tidak ada dalil Qath’i tentang halalnya demokrasi, sama juga dengan tidak ada dalil qath’i tentang haramnya demokrasi”

Dengan begitu, sangat menggelikan sekali bagi seorang yang bertanya dalil qath’i tentang bolehnya demokrasi. Karena wilayah pemahaman boleh tidaknya demokrasi itu adalah wilayah ijtihad, tentu saja karena tidak nash yang qath’i menyatakan boleh atau tidaknya demokrasi tersebut maka dari itu muncul ijtihad ulama. Disatu sisi membolehkan, disatu sisi mengharamkannya.

Yah seperti katakanlah Rokok, Facebook/Internet, kartu kredit, dll. Tidak bisa dimutlak-kan keharamannya kecuali atas ijma’ dari seluruh ulama umat Islam! Jadi tentu fatwa haramnya hanya berada pada organisasi/wilayah tertentu saja!

Nah, karena orang-orang anti demokrasi ini sudah sangat “akut” dalam membenci Demokrasi, sehingga sering mereka tidak bisa berlaku adil dalam berpendapat. Pertanyaan “Tolong sebukan dalil qath’i tentang haramnya demokrasi” dijawab dengan panjang lebar, yang pada intinya mereka tidak terima jika demokrasi itu masuk pada wilayah ijtihad ulama, tetapi mereka lebih didasarkan pada demokrasi itu sendiri adalah haram mutlak yang sudah di-Nash-kan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Padahal Islam jelas mengharamkan sesuatu yang diharamkan mutlak tanpa ada nash yang qath’i! Namun jika itu sebuah ijtihad seorang ulama, maka masih ditolerir dalam batas-batas tertentu pada suatu wilayah, organisasi atau kaum. Dan bukan pada seluruh umat Islam.

Sekiranya setiap gerakan mampu mengikhlaskan diri untuk bisa memahami perbedaan pendapat dalam segala apapun, insya Allah tidak akan pernah ada klaim satu pihak lebih benar pemahamannya dari yang lain.

SEKIAN.

Abu Jaisy.

6 Tanggapan

  1. Subhanallah, syukron akhi. Insya Allah jawaban-jawaban keras antum ini bisa membuat orang-orang yang selalu berucap keras terhadap demokrasi adalah kufur agar segera tersadar.

    Jika demokrasi itu tasyabu maka sudah selayaknya setiap orang muslim yang libur hari Sabtu dan Minggu adalah orang-orang tasyabu. Bukankah hari sabtu dan minggu itu hari beribadahnya orang-orang kristen dan katholic!

    Kalau ingin mengaplikasikan ijtihad seharusnya tidak tanggung-tanggung hanya sebatas parlemen dan demokrasi yang dianggap tasyabu. Hanya orang munafiq saja berkata tetapi hanya diambil yang enak-enaknya saja!

    Jazzakallah akhi.

  2. […] 4. Saya keluar dari PKS karena PKS mengikuti Demokrasi, bukankah Demokrasi itu haram! Saya ingin seperti PKS yang dulu, tidak ikut Demokrasi! Jawaban: Dari pembentukan PK sampai ke PKS, yah tetap PKS mengikuti demokrasi. Jadi tidak ada namanya PK atau PKS yang tidak mengikuti Demokrasi, kecuali masa-masa Syiri (sembunyi-sembunyi) dengan Dakwah "Tarbiyah". Dan perlu di ingat, Demokrasi itu bukan sebuah haram mutlak dalam Islam. Karena tidak ada dalil yang mutlak terhadap pengharaman demokrasi kecuali hanya ijtihad dari ulama yang mengharamkannya. Saya menghormati orang yang mengharamkan ijtihad ulama tentang pengharaman demokrasi, sebaliknya juga hormati orang-orang yang berdakwah melalui demokrasi. Kalau mau berbeda it’s ok. Asal tidak perlu merasa paling benar. Bisa dilihat disini —> https://suara01.wordpress.com/2010/04/07/kumpulan-tanya-jawab-masalah-demokrasi-haram-atau-tidak/ […]

  3. […] tersebut insya Allah sudah saya jawab berulang-ulang diblog saya. Silahkan kunjungi ini —> https://suara01.wordpress.com/2010/04/07/kumpulan-tanya-jawab-masalah-demokrasi-haram-atau-tidak/ Sebelum berkomentar, sebaiknya dibaca seluruhnya dulu yaa akhi. Jangan membaca hanya sekedarnya, […]

  4. masalah-masalah apa2 aj yg menegakkan demokrasi?

  5. […] Jawaban: Dari pembentukan PK sampai ke PKS, yah tetap PKS mengikuti demokrasi. Jadi tidak ada namanya PK atau PKS yang tidak mengikuti Demokrasi, kecuali masa-masa Syiri (sembunyi-sembunyi) dengan Dakwah “Tarbiyah”. Dan perlu di ingat, Demokrasi itu bukan sebuah haram mutlak dalam Islam. Karena tidak ada dalil yang mutlak terhadap pengharaman demokrasi kecuali hanya ijtihad dari ulama yang mengharamkannya. Saya menghormati orang yang mengharamkan ijtihad ulama tentang pengharaman demokrasi, sebaliknya juga hormati orang-orang yang berdakwah melalui demokrasi. Kalau mau berbeda it’s ok. Asal tidak perlu merasa paling benar. Bisa dilihat disini —> https://suara01.wordpress.com/2010/04/07/kumpulan-tanya-jawab-masalah-demokrasi-haram-atau-tidak/ […]

  6. “suroboyo onok’e mek soto ayam, meduro due soto daging, duduk soto sapi. wong tegal nyebute sauto, lek banyumasan sroto. lah wong makasar cotto. perkoro soto ae akeh modele, mangkane gk usah musuhan mergo gk podo”…….ini adalah update’an status sy di fb beberapa hari yg lalu, sy tujukan untuk kritik buat temen2 yang gk dewasa melihat perbedaan. pernah saya sempat dilaporkan ke komite etiknya ditjen pajak oleh teman baik saya, dituduh berkampanye gara2 hanya mengupload artikel ttg Ustd Hidayat Nurwahid di milist kantor, entahlah knp demokrasi diharam haramkan, tp mereka (teman saya yang melaporkan) masih kerja di kantor pajak. dan gk habis pikir sampe bener2 rela melaporkan ke Kitsda (semacam komite etik di ditjen pajak) padahal waktu di kampus sampe sekarang kita teman dan satu angkatan pula. apa sudah bencinya sampe2 melaporkan saya apa supaya bisa dipecat biar gk berpenghasilan dan anak istri saya kelaparan?, heran banget dengan perilaku “mereka” (krn lebih dari satu). saya ragu islam bisa jaya kalo dipegang orang2 macam “mereka”

Tinggalkan komentar